Aku berani mengatakan kalau semuanya berjalan lancar. Setelah acara konferensi pers itu, semua hal jadi jelas. Tidak ada wartawan yang datang ke sekolah. Yang paling membuatku senang adalah kenyataan kalau Hayden adalah guru yang baik. Dia dapat menarik perhatian anak-anak agar mau dengan senang mengikuti pelajarannya. Bahkan, yang aku lihat anak-anak yang dulunya tidak menyukai pelajaran olahraga sekarang menjadi lebih lunak.
Maksudku, mereka tidak lagi terlihat ogah-ogahan dan berhenti membolos. Hanya saja, inilah yang membuatku iri. Aku berpendidikan guru tapi tetap saja aku tidak bisa melakukan hal yang Hayden lakukan. Dia sangat beruntung. Hayden, maksudku. Dia tidak pernah capek-capek kuliah untuk dapat akte mengajar tapi bisa mengajar dengan sangat baik.
Tapi sudahlah. Aku bosan membicarakan betapa tidak beruntungnya diriku. Bagaimana kalau kita berbicara hal positif saja?
Hal positifnya, setidaknya bagiku, adalah Hayden mengikuti kebiasaannku dengan membawa bekal ke sekolah. Dia menyetujui alasanku tentang perubahan iklim. Katanya, dua tahun lalu dia pernah ikut dalam acara PBB di New York untuk mengampanyekan dampak perubahan iklim.
“Rumahku di Jepang adalah rumah ramah lingkungan!” kata Hayden.
“Oh ya?” ucapku. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Harganya memang lebih mahal tapi setidaknya dapat membantu dunia ini.”
“Kalo tempat kost-ku mungkin tidak ramah lingkungan…”
Aku langusung mengingat teman-teman kost-ku yang sama sekali tidak peduli pada yang namanya Global Warming. Mereka menggunakan energi secara berlebihan. Mereka membuang sampah sembarangan. Apalagi Ina. Bukannya aku bermaksud menjelekkan temanku sendiri. Tapi seperti itulah Ina. Dia suka ngemil dan sampah makanan ringannya kadang ditumpuk begitu saja di keranjang sampahnya yang sudah penuh. Bahkan sampah-sampah itu kadang terbang ke keranjang sampahku!
“Kau tinggal di tempat kost?” tanya Hayden. Dia kelihatan kaget.
“Iya, memangnya kenapa?” aku balik bertanya.
“Nggak. Aku kira kau masih tinggal dengan orang tuamu!”
“Nggak. Keluargaku nggak berasal dari Denpasar.”
“Kamu aslinya dari mana?”
“Dari Badung utara!”
Aku kemudian menjelaskan pada Hayden tempat asalku. Letaknya memang di daerah Badung utara, tepatnya di desa bernama Plaga. Kalau kau tahu Air Terjun Nungnung, yah, di dekat situlah tempat tinggalku.
“Orang tuamu kerja apa?” Hayden bertanya lagi.
“Mereka udah nggak ada…” jawabku dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Sorry… aku nggak bermaksud bikin kamu sedih…”
“Nggak apa!”
“When did they pass away?”
“When I was a student of elementary school. It was very difficult for me and my brother!”
“Sekarang ada siapa aja di rumah?”
“Nenek sama kakek. Tapi masih ada paman!”
“Berarti kapan-kapan aku boleh main ke sana…”
Aku tersenyum. “Tentu aja. Nanti aku ajak ke air terjun!”
Aku sebenarnya tidak terlalu suka membicarakan masalah pribadi dengan orang lain. Kadang kalau aku ingat kedua orang tuaku sudah tidak ada, dadaku jadi terasa sesak. Entahlah, padahal mereka sudah lama sekali meninggal. Tapi lukanya masih belum sembuh.
Dengan Hayden rasanya berbeda. Aku tidak terlalu, well, sesak waktu dia bertanya tentang orang tuaku. Aku hanya kaget kalau aku tidak merasa sesak lagi. Apa mungkin Hayden itu orang yang bisa mengalirkan energi positif ke orang lain? Tahu kan, di televisi sering ada orang-orang dengan perkumpulannya yang tujuan utamanya mengalirkan energi positif ke orang lain. Apa mungkin Hayden menjadi anggota perkumpulan seperti itu? Dia orang terkenal, jadi bisa melakukan apa saja!
@@@@
Yang tidak berubah di SMA 33 adalah sikap para guru yang berlebihan. Para siswa sepertinya sudah bisa mengendalikan diri. Sedangkan, para guru masih saja gila. Mungkin bisa aku bilang bertambah gila.
Siang itu aku agak terlambat memulangkan siswaku sebab ada ulangan writing. Dan seperti biasa, ulangan jenis ini selalu memakan waktu sangat lama. Aku menyeret kakiku yang lemas (karena belum makan) ke ruang guru. Dan disana, ada Mili.
Rasanya sudah lama sekali sejak Mili dan aku bercengkrama ria. Jika dulu, aku paling akrab dengannya. Setelah kedatangan Hayden, dia lebih senang menghabiskan waktu bersama guru lainnya yang menggilai Hayden. Dia hampir tidak pernah bicara denganku. Yah, kalau membicarakan tentang siswa yang bandel mungkin lumayan sering. Tapi, yang aku maksud adalah obrolan seru sesama guru yang masih muda.
Mili melihatku. Dan dia sama sekali tidak bertanya apa-apa. Apakah dia tidak ingin tahu kenapa aku baru memulangkan murid-muridku? Apakah dia tidak ingin tahu apa aku sudah makan? Apa dia tidak ingin makan bareng aku? Mungkin aku yang harus memulai.
“Kok masih disini, Mil?” tanyaku.
“Ya,” itu adalah jawaban Mili. Ada apa nih?!
“Kamu udah nyiapin soal-soal buat mid test?”
“Belum.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Mili jadi hemat kata-kata? Apa mungkin aku pernah salah ngomong? Kalau benar seperti itu, Mili seharusnya sudah memperingatkanku untuk minta maaf. Dulu, dia selalu melakukan itu. Kemudian, Mili membuatku sangat terkejut dengan pergi tanpa pamit. Ini bukan Mili.
Terus terang hal ini masih di luar jangkauanku. Aku memikirkan sikap Mili ini sampai di tempat kost dan Ina menjadi sangat gelisah melihat perubahan sikapku.
“Ada masalah di sekolah?” tanyanya serius.
“Iya. Kau masih ingat Mili?” tanyaku pada Ina.
“Hmm.. yang guru matematika itu?”
Aku mengangguk.
“Memangnya dia kenapa?” tanya Ina lagi.
“Dia jadi aneh. Nggak tahu kenapa. Yang jelas, dia kelihatannya ogah jadi temanku lagi.”
“Mungkin hanya perasaanmu aja.”
“Nggak kayak gitu. Tadi dia ketus banget sama aku. Setiap pertanyaanku cuman dijawab dengan satu kata!”
“Arah, paling-paling dia lagi sariawan!”
“Bukan gitu, In! Ada yang aneh. Dia sebenarnya mulai aneh sejak kedatangan Hayden!”
Aku mencari perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan sikap Ina saat mendengar kalimatku itu. Aku bisa bilang kalau telingan Ina langsung berdiri waktu mendengar informasiku itu. Dia berpikir sejenak, yang membuatku bercanda apakah dia sudah pindah profesi jadi detektif atau semacamnya. Tapi, dia menanggapi kelakarku dengan serius.
“Jian, banyak yang bakal berubah disana!” ucap Ina.
“Misalnya?”
“Siapa tahu aja dalam waktu dekat kepala sekolah mengundurkan diri…”
“Kenapa mengundurkan diri?” tanyaku serius.
“Yah, aku hanya menebak…” jawab Ina. Tapi nadanya serius banget.
Aku sebenarnya ingin bertanya lagi tapi ada yang menelponku. Wakil Kepala Sekolah. Saat melihat nomer handphonenya, aku sempat merinding. Jangan-jangan apa yang diucapkan Ina benar!
“Ada apa ya, Pak?” tanyaku sopan.
Terdengar suara ribut-ribut. Pasti wakasek lagi jalan-jalan bareng anak-anaknya. Aku juga mendengar suara anak yang sedang menagis. “Begini, Jian. Apa bisa tolong informasikan ke Bu Ayu kalau salah satu siswa di kelasnya berencana pindah…”
Wakasek menjelaskan kalau nomer handphone Bu Ayu tercatat di ponselnya yang lain dan di ponsel yang dipegangnya sekarang hanya ada nomerku dan beberapa nomer guru lain. Siswa yang bakal pindah bernama Windu. Anak ini ikut orang tuanya yang pindah tugas ke Australia. Dan tugas Ibu Ayu besok adalah mengurus surat pindahnya. Aku menyanggupi perintah wakasek dan setelah menutup telpon, aku langsung menelpon Bu Ayu.
Awalnya aku berpikir, Bu Ayu bakal menginterogasiku seputar Hayden. Tapi aku salah. Dia malah histeris dan mengatakan kalau Windu adalah siswa paling teladan di kelas XI. Jadi mana mungkin dia pindah? Apalagi bulan depan akan ada olimpiade matematika dan Windu adalah calon terkuat untuk berpartisipasi dalam event itu.
Aku menjelaskan alasan kepindahan Windu. Penjelasanku persis seperti yang dikatakan wakasek. Tapi Bu Ayu tetap tidak bisa terima. Dia mengatakan kalau ayah Windu baru saja kembali dari tugasnya di Australia jadi mana mungkin balik kesana lagi.
“Mungkin sebaiknya ibu bicara dengan Windu besok.” Kataku. Aku cukup kesal karena diteriaki.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya, Jian!”
“Sama-sama, Bu!”
@@@@
Aku mendapat sms dari Ardi. Mau tahu Ardi itu siapa? Dia adalah cowok yang aku pacari dari SMA hingga semester 7 saat kuliah. Dia sebenarnya baik dan ketika kami berpisah juga dengan cara yang baik-baik. Ardi suka sekali nongkrong di MCD. Dulu waktu masih pacaran, dia paling sering mengajakku kesana. Meski kami hanya beli McFlurry aja.
Dia rupanya belum berubah. Dia mengirimiku sms seperti ini: Jian, pa kbr? Aq baik jha.. oy, aq pengen ketmu ma km. Bs kn? Aq tunggu di MCD y? Bsk jm 4 sore! Itulah yang paling aku benci dari Ardi. Dia pelit banget. Dia selalu mengiri sms yang panjangnya minta ampun. Katanya biar hemat pulsa jadi dikirim sekalian saja! Dulu, aku adalah yang paling sering menelponnya. Kalau kepalanya terbentur, baru deh dia mau menelponku.
Sepulang sekolah aku langsung bersiap-siap. Bukannya pertemuannya jam 4, kok sudah siap-sipa? Yah, masalah saat aku bilang pada Ina aku akan bertemu dengan mantan pacarku, dia memintaku melakukan sesuatu sebelumnya. Ina menyuruhku ke Museum Perjuangan sebelum ke MCD. Soalnya. Keponakannya ada tugas mengumpulkan foto beberapa Museum dan kemudian menggambarkannya dalam bahasa Inggris. Ina sudah dapat dua Museum dan sekarang tinggal Museum Perjuangan.
“Musem Perjuangan kan dekat MCD, jadi sekalian aja, ya?!” kata Ina padaku.
“Yang aku ambil foto apa aja?” ucapku sedikit kesal. Bisa-bisanya dia!
“Bangunan Musem sama isinya. Ini uang buat bayar tiketnya!” Ina menyerahkan uang padaku. “Yah, sekalian aja. Biar hemat BBM. Hasilnya nanti kan nggak mencemari lingkungan!”
Argggghhhh… Ina memang membuatku kesal. Jadilah aku sudah jeprat-jepret di Museum Perjuangan di siang bolong. Museumnya sepi sekali. Aku sengaja memulainya dari dalam sebab aku berencana untuk bersantai sebentar di kursi taman nanti.
Museum Perjuangan letakknya di Taman Kota. Kalau sudah menyebut tempat itu, Taman Kota maksudku, pasti yang kepikiran adalah siomay. Waktu masih kuliah dulu, aku dan teman-teman kuliahku sering nongkrong di Taman Kota cuma buat makan siomay!
Setelah selesai menjalankan perintah Ina, aku memilih salah satu bangku taman yang letakknya agak di bagian utara. Udaranya sejuk sekali sebab bangkunya tepat berada di bawah pohon. Saat itulah aku melihat lagi pria yang tadi menyenggolku di dalam museum. Dia berjalan ke arahku. Awalnya aku tidak begitu curiga. Tapi, aku mulai was-was saat pria itu sudah sangat dekat. Entah kenapa hari itu taman begitu sepi.
Dan terjadilah hal paling mengerikan dalam hidupku. Hal yang bakal menuntun ke seluruh kejadian paling tidak mengenakkan dalam seluruh fase kehidupanku. Pria itu mulai menarik tas-ku. Karena aku berteriak, dia kemudian beralih ke kamera yang tergantung di leherku. Aku berteriak lebih keras.
Kemudian… bukkkkk!!! Pria itu jatuh tersungkur ke tanah. Ada orang yang mendengar teriakkanku dan memukul penjahat sialan itu. Dan orang itu adalah… Hayden!! Sang aktor mulai beraksi lagi. Dia memukul, menendang, memukul, menendang… sampai petugas keamanan Museum datang.
Aku hanya bengong disana ketika Hayden mengatakan sesuatu pada petugas itu. Aku seperti orang bodoh. Aku sama sekali tidak memikirkan diriku yang hampir kehilangan barang-barangku. Tapi yang aku pikirkan adalah aksi Hayden yang seperti di film-film. Yah, dia memang bintang film tapi tidak aku sangka dia juga hebat di kehidupan nyata. Aku tidak pernah menyangka kalau dia juga membawa kehebatannya ke kehidupan nyatanya!
“Kamu nggak apa-apa?” Hayden bertanya sambil memegang pundakku.
Aku menggeleng. Kata-kataku habis. Mau bilang apalagi?
“Kamu mau pulang sekarang?”
Aku sebenarnya ingin bilang kalau aku ada janji tapi Hayden mendahuluiku.
“Gimana kalo kita minum teh dulu. Aku tahu satu tempat asik!”
Entah apa yang merasukiku saat itu. Yang jelas aku mendadak lupa kalau ada janji dengan Ardi. Aku masuk ke mobil Hayden dan dia pun membawaku ke tempat yang dimaksudnya.