Minggu, 30 Mei 2010

Guru Idola – Chapter 6

Aku berani mengatakan kalau semuanya berjalan lancar. Setelah acara konferensi pers itu, semua hal jadi jelas. Tidak ada wartawan yang datang ke sekolah. Yang paling membuatku senang adalah kenyataan kalau Hayden adalah guru yang baik. Dia dapat menarik perhatian anak-anak agar mau dengan senang mengikuti pelajarannya. Bahkan, yang aku lihat anak-anak yang dulunya tidak menyukai pelajaran olahraga sekarang menjadi lebih lunak.

Maksudku, mereka tidak lagi terlihat ogah-ogahan dan berhenti membolos. Hanya saja, inilah yang membuatku iri. Aku berpendidikan guru tapi tetap saja aku tidak bisa melakukan hal yang Hayden lakukan. Dia sangat beruntung. Hayden, maksudku. Dia tidak pernah capek-capek kuliah untuk dapat akte mengajar tapi bisa mengajar dengan sangat baik.

Tapi sudahlah. Aku bosan membicarakan betapa tidak beruntungnya diriku. Bagaimana kalau kita berbicara hal positif saja?

Hal positifnya, setidaknya bagiku, adalah Hayden mengikuti kebiasaannku dengan membawa bekal ke sekolah. Dia menyetujui alasanku tentang perubahan iklim. Katanya, dua tahun lalu dia pernah ikut dalam acara PBB di New York untuk mengampanyekan dampak perubahan iklim.

“Rumahku di Jepang adalah rumah ramah lingkungan!” kata Hayden.
“Oh ya?” ucapku. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Harganya memang lebih mahal tapi setidaknya dapat membantu dunia ini.”
“Kalo tempat kost-ku mungkin tidak ramah lingkungan…”

Aku langusung mengingat teman-teman kost-ku yang sama sekali tidak peduli pada yang namanya Global Warming. Mereka menggunakan energi secara berlebihan. Mereka membuang sampah sembarangan. Apalagi Ina. Bukannya aku bermaksud menjelekkan temanku sendiri. Tapi seperti itulah Ina. Dia suka ngemil dan sampah makanan ringannya kadang ditumpuk begitu saja di keranjang sampahnya yang sudah penuh. Bahkan sampah-sampah itu kadang terbang ke keranjang sampahku!

“Kau tinggal di tempat kost?” tanya Hayden. Dia kelihatan kaget.
“Iya, memangnya kenapa?” aku balik bertanya.
“Nggak. Aku kira kau masih tinggal dengan orang tuamu!”
“Nggak. Keluargaku nggak berasal dari Denpasar.”
“Kamu aslinya dari mana?”
“Dari Badung utara!”

Aku kemudian menjelaskan pada Hayden tempat asalku. Letaknya memang di daerah Badung utara, tepatnya di desa bernama Plaga. Kalau kau tahu Air Terjun Nungnung, yah, di dekat situlah tempat tinggalku.

“Orang tuamu kerja apa?” Hayden bertanya lagi.
“Mereka udah nggak ada…” jawabku dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Sorry… aku nggak bermaksud bikin kamu sedih…”
“Nggak apa!”
“When did they pass away?”
“When I was a student of elementary school. It was very difficult for me and my brother!”
“Sekarang ada siapa aja di rumah?”
“Nenek sama kakek. Tapi masih ada paman!”
“Berarti kapan-kapan aku boleh main ke sana…”
Aku tersenyum. “Tentu aja. Nanti aku ajak ke air terjun!”

Aku sebenarnya tidak terlalu suka membicarakan masalah pribadi dengan orang lain. Kadang kalau aku ingat kedua orang tuaku sudah tidak ada, dadaku jadi terasa sesak. Entahlah, padahal mereka sudah lama sekali meninggal. Tapi lukanya masih belum sembuh.

Dengan Hayden rasanya berbeda. Aku tidak terlalu, well, sesak waktu dia bertanya tentang orang tuaku. Aku hanya kaget kalau aku tidak merasa sesak lagi. Apa mungkin Hayden itu orang yang bisa mengalirkan energi positif ke orang lain? Tahu kan, di televisi sering ada orang-orang dengan perkumpulannya yang tujuan utamanya mengalirkan energi positif ke orang lain. Apa mungkin Hayden menjadi anggota perkumpulan seperti itu? Dia orang terkenal, jadi bisa melakukan apa saja!

@@@@

Yang tidak berubah di SMA 33 adalah sikap para guru yang berlebihan. Para siswa sepertinya sudah bisa mengendalikan diri. Sedangkan, para guru masih saja gila. Mungkin bisa aku bilang bertambah gila.

Siang itu aku agak terlambat memulangkan siswaku sebab ada ulangan writing. Dan seperti biasa, ulangan jenis ini selalu memakan waktu sangat lama. Aku menyeret kakiku yang lemas (karena belum makan) ke ruang guru. Dan disana, ada Mili.

Rasanya sudah lama sekali sejak Mili dan aku bercengkrama ria. Jika dulu, aku paling akrab dengannya. Setelah kedatangan Hayden, dia lebih senang menghabiskan waktu bersama guru lainnya yang menggilai Hayden. Dia hampir tidak pernah bicara denganku. Yah, kalau membicarakan tentang siswa yang bandel mungkin lumayan sering. Tapi, yang aku maksud adalah obrolan seru sesama guru yang masih muda.

Mili melihatku. Dan dia sama sekali tidak bertanya apa-apa. Apakah dia tidak ingin tahu kenapa aku baru memulangkan murid-muridku? Apakah dia tidak ingin tahu apa aku sudah makan? Apa dia tidak ingin makan bareng aku? Mungkin aku yang harus memulai.

“Kok masih disini, Mil?” tanyaku.
“Ya,” itu adalah jawaban Mili. Ada apa nih?!
“Kamu udah nyiapin soal-soal buat mid test?”
“Belum.”

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Mili jadi hemat kata-kata? Apa mungkin aku pernah salah ngomong? Kalau benar seperti itu, Mili seharusnya sudah memperingatkanku untuk minta maaf. Dulu, dia selalu melakukan itu. Kemudian, Mili membuatku sangat terkejut dengan pergi tanpa pamit. Ini bukan Mili.

Terus terang hal ini masih di luar jangkauanku. Aku memikirkan sikap Mili ini sampai di tempat kost dan Ina menjadi sangat gelisah melihat perubahan sikapku.

“Ada masalah di sekolah?” tanyanya serius.
“Iya. Kau masih ingat Mili?” tanyaku pada Ina.
“Hmm.. yang guru matematika itu?”
Aku mengangguk.
“Memangnya dia kenapa?” tanya Ina lagi.
“Dia jadi aneh. Nggak tahu kenapa. Yang jelas, dia kelihatannya ogah jadi temanku lagi.”
“Mungkin hanya perasaanmu aja.”
“Nggak kayak gitu. Tadi dia ketus banget sama aku. Setiap pertanyaanku cuman dijawab dengan satu kata!”
“Arah, paling-paling dia lagi sariawan!”
“Bukan gitu, In! Ada yang aneh. Dia sebenarnya mulai aneh sejak kedatangan Hayden!”

Aku mencari perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan sikap Ina saat mendengar kalimatku itu. Aku bisa bilang kalau telingan Ina langsung berdiri waktu mendengar informasiku itu. Dia berpikir sejenak, yang membuatku bercanda apakah dia sudah pindah profesi jadi detektif atau semacamnya. Tapi, dia menanggapi kelakarku dengan serius.

“Jian, banyak yang bakal berubah disana!” ucap Ina.
“Misalnya?”
“Siapa tahu aja dalam waktu dekat kepala sekolah mengundurkan diri…”
“Kenapa mengundurkan diri?” tanyaku serius.
“Yah, aku hanya menebak…” jawab Ina. Tapi nadanya serius banget.

Aku sebenarnya ingin bertanya lagi tapi ada yang menelponku. Wakil Kepala Sekolah. Saat melihat nomer handphonenya, aku sempat merinding. Jangan-jangan apa yang diucapkan Ina benar!

“Ada apa ya, Pak?” tanyaku sopan.
Terdengar suara ribut-ribut. Pasti wakasek lagi jalan-jalan bareng anak-anaknya. Aku juga mendengar suara anak yang sedang menagis. “Begini, Jian. Apa bisa tolong informasikan ke Bu Ayu kalau salah satu siswa di kelasnya berencana pindah…”

Wakasek menjelaskan kalau nomer handphone Bu Ayu tercatat di ponselnya yang lain dan di ponsel yang dipegangnya sekarang hanya ada nomerku dan beberapa nomer guru lain. Siswa yang bakal pindah bernama Windu. Anak ini ikut orang tuanya yang pindah tugas ke Australia. Dan tugas Ibu Ayu besok adalah mengurus surat pindahnya. Aku menyanggupi perintah wakasek dan setelah menutup telpon, aku langsung menelpon Bu Ayu.

Awalnya aku berpikir, Bu Ayu bakal menginterogasiku seputar Hayden. Tapi aku salah. Dia malah histeris dan mengatakan kalau Windu adalah siswa paling teladan di kelas XI. Jadi mana mungkin dia pindah? Apalagi bulan depan akan ada olimpiade matematika dan Windu adalah calon terkuat untuk berpartisipasi dalam event itu.

Aku menjelaskan alasan kepindahan Windu. Penjelasanku persis seperti yang dikatakan wakasek. Tapi Bu Ayu tetap tidak bisa terima. Dia mengatakan kalau ayah Windu baru saja kembali dari tugasnya di Australia jadi mana mungkin balik kesana lagi.

“Mungkin sebaiknya ibu bicara dengan Windu besok.” Kataku. Aku cukup kesal karena diteriaki.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya, Jian!”
“Sama-sama, Bu!”

@@@@

Aku mendapat sms dari Ardi. Mau tahu Ardi itu siapa? Dia adalah cowok yang aku pacari dari SMA hingga semester 7 saat kuliah. Dia sebenarnya baik dan ketika kami berpisah juga dengan cara yang baik-baik. Ardi suka sekali nongkrong di MCD. Dulu waktu masih pacaran, dia paling sering mengajakku kesana. Meski kami hanya beli McFlurry aja.

Dia rupanya belum berubah. Dia mengirimiku sms seperti ini: Jian, pa kbr? Aq baik jha.. oy, aq pengen ketmu ma km. Bs kn? Aq tunggu di MCD y? Bsk jm 4 sore! Itulah yang paling aku benci dari Ardi. Dia pelit banget. Dia selalu mengiri sms yang panjangnya minta ampun. Katanya biar hemat pulsa jadi dikirim sekalian saja! Dulu, aku adalah yang paling sering menelponnya. Kalau kepalanya terbentur, baru deh dia mau menelponku.

Sepulang sekolah aku langsung bersiap-siap. Bukannya pertemuannya jam 4, kok sudah siap-sipa? Yah, masalah saat aku bilang pada Ina aku akan bertemu dengan mantan pacarku, dia memintaku melakukan sesuatu sebelumnya. Ina menyuruhku ke Museum Perjuangan sebelum ke MCD. Soalnya. Keponakannya ada tugas mengumpulkan foto beberapa Museum dan kemudian menggambarkannya dalam bahasa Inggris. Ina sudah dapat dua Museum dan sekarang tinggal Museum Perjuangan.

“Musem Perjuangan kan dekat MCD, jadi sekalian aja, ya?!” kata Ina padaku.
“Yang aku ambil foto apa aja?” ucapku sedikit kesal. Bisa-bisanya dia!
“Bangunan Musem sama isinya. Ini uang buat bayar tiketnya!” Ina menyerahkan uang padaku. “Yah, sekalian aja. Biar hemat BBM. Hasilnya nanti kan nggak mencemari lingkungan!”

Argggghhhh… Ina memang membuatku kesal. Jadilah aku sudah jeprat-jepret di Museum Perjuangan di siang bolong. Museumnya sepi sekali. Aku sengaja memulainya dari dalam sebab aku berencana untuk bersantai sebentar di kursi taman nanti.

Museum Perjuangan letakknya di Taman Kota. Kalau sudah menyebut tempat itu, Taman Kota maksudku, pasti yang kepikiran adalah siomay. Waktu masih kuliah dulu, aku dan teman-teman kuliahku sering nongkrong di Taman Kota cuma buat makan siomay!

Setelah selesai menjalankan perintah Ina, aku memilih salah satu bangku taman yang letakknya agak di bagian utara. Udaranya sejuk sekali sebab bangkunya tepat berada di bawah pohon. Saat itulah aku melihat lagi pria yang tadi menyenggolku di dalam museum. Dia berjalan ke arahku. Awalnya aku tidak begitu curiga. Tapi, aku mulai was-was saat pria itu sudah sangat dekat. Entah kenapa hari itu taman begitu sepi.

Dan terjadilah hal paling mengerikan dalam hidupku. Hal yang bakal menuntun ke seluruh kejadian paling tidak mengenakkan dalam seluruh fase kehidupanku. Pria itu mulai menarik tas-ku. Karena aku berteriak, dia kemudian beralih ke kamera yang tergantung di leherku. Aku berteriak lebih keras.

Kemudian… bukkkkk!!! Pria itu jatuh tersungkur ke tanah. Ada orang yang mendengar teriakkanku dan memukul penjahat sialan itu. Dan orang itu adalah… Hayden!! Sang aktor mulai beraksi lagi. Dia memukul, menendang, memukul, menendang… sampai petugas keamanan Museum datang.

Aku hanya bengong disana ketika Hayden mengatakan sesuatu pada petugas itu. Aku seperti orang bodoh. Aku sama sekali tidak memikirkan diriku yang hampir kehilangan barang-barangku. Tapi yang aku pikirkan adalah aksi Hayden yang seperti di film-film. Yah, dia memang bintang film tapi tidak aku sangka dia juga hebat di kehidupan nyata. Aku tidak pernah menyangka kalau dia juga membawa kehebatannya ke kehidupan nyatanya!

“Kamu nggak apa-apa?” Hayden bertanya sambil memegang pundakku.
Aku menggeleng. Kata-kataku habis. Mau bilang apalagi?
“Kamu mau pulang sekarang?”
Aku sebenarnya ingin bilang kalau aku ada janji tapi Hayden mendahuluiku.
“Gimana kalo kita minum teh dulu. Aku tahu satu tempat asik!”

Entah apa yang merasukiku saat itu. Yang jelas aku mendadak lupa kalau ada janji dengan Ardi. Aku masuk ke mobil Hayden dan dia pun membawaku ke tempat yang dimaksudnya.

Senin, 17 Mei 2010

Guru Idola – Chapter 5

Konferensi pers-nya di gelar di Hard Rock Hotel. Begitu kata Hayden. Tapi jelas, aku tidak akan datang. Buat apa? Aku bukan wartawan, bukan juga penggemar berat Hayden. Mili dan beberapa guru yang lain berencana datang. Waktu mendengar pengumuman itu, aku jadi merinding. Memangnya mereka pikir itu acara nonton bareng? Hayden mungkin bakal berpikir kalau teman-temanku itu orang aneh.

Tadi pagi, Hayden sudah mulai mengajar. Sudah bisa ditebak kalau beberapa siswi jadi heboh. Mereka nyengir kayak sapi. Tapi aku bersyukur, beberapa yang lainnya masih bisa mengendalikan diri. Cara Hayden mengajar cukup professional. Dia tidak canggung (oh jelas saja, dia kan bintang terkenal!). Dia juga mampu berkomunikasi dengan baik serta mampu menyampaikan ide-idenya pada para siswa. Mungkin sebenarnya dia sudah ikut les mengajar atau apa.

Yang aneh di ruang guru sejak kedatangan Hayden adalah mejaku jadi sering dikunjungi oleh guru-guru yang lain. Kalau biasanya, hanya Mili yang rajin datang ke mejaku. Ada juga beberapa yang lain. Itu pun hanya untuk menyerahkan surat atau undangan lomba. Kalau sekarang, mereka datang tanpa alasan. Ada juga yang hanya sekedar bertanya apa aku tidak memberikan ulangan pada siswa? Kalau iya, mereka mau membantu memeriksa hasil ulangannya. Aneh.

Aku ingin berteriak saja kenapa mereka tidak langsung saja pada intinya, yaitu ingin mengobrol dengan Hayden. Apa salahnya kalau cuman ingin mengobrol? Tidak akan dihukum mati dan tidak melanggar hak asasi manusia! Mili juga jadi menyebalkan. Dia tidak lagi mau makan siang denganku. Mili lebih memilih makan bareng guru-guru lain di kantin sekolah. Mereka ingin makan dengan Hayden disana.

Aku sendiri lebih senang membawa makanan sendiri. Ada beberapa alasan yang mendukungku. Yang pertama, harga makanan di kantin mahalnya minta ampun. Gajiku bisa habis cuma untuk membeli makan siang. Yang kedua, aku tahu dengan membawa bekal makan siang dalam kotak makan siangku, aku bisa menyelamatkan dunia. Yah, aku jadi lebih sedikit menghasilkan sampah. Dulu Mili juga mendukung alasan ini.

Jadilah aku sendiri di ruang guru. Aku sudah membuka kotak makan siangku ketika aku sadar kalau ada orang yang masuk. Aku menengadah dan melihat Hayden tersenyum lebar kepadaku. Apa yang dia lakukan disini? Apa dia tidak lapar? Seharusnya dia berada di kantin dengan guru yang lain.

“Kamu bawa bekal sendiri, ya?” tanya Hayden padaku.
“Ya,” jawabku lalu mulai makan. “Oh ya, kamu nggak makan?”
“Nggak. Aku sedikit merasa aneh makan di kantin. Rame banget!”
“Kenapa nggak beli aja terus dibungkus buat dimakan disini?”

Apa yang aku katakan? Aku baru saja mengajak Hayden makan siang bareng. Apa Mili bakal kesal? Dia sudah rugi datang ke kantin.

“Ah, lebih baik nggak!” kata Hayden.
“Makanan di kantin emang nggak terlalu enak sih…” ucapku.
“Bukan begitu! Hanya hari ini memang nggak selera makan!”
Aku menelan makan siangku. “Memangnya ada apa?”
“Masih mikirin acara nanti malam.”
“Ohhhh…”

Aku mengunyah lagi dan sebenarnya aku sadar kalau Hayden memandangiku. Ini sudah untuk yang kedua kalinya dia memandangku seperti itu. Seakan-akan dia mau menelanku hidup-hidup! Atau jangan-jangan dia naksir aku? Yang ini sangat mengerikan dan tidak mungkin terjadi. Apa yang dia suka dari diriku? Aku sangat sangat biasa. Aku tidak tinggi seperti kebanykan teman-teman artisnya. Kulitku tidak putih-putih amat. Dan wajahku, yah, sangat biasa seperti kebanyakan wanita-wanita di Bali pada umumnya. Lalu apanya yang menarik dari diriku? Tiba-tiba aku sadar!

“Kamu mau mencoba makananku?” tanyaku pada Hayden.
“Nggak apa-apa nih?”
“Seharusnya aku yang nanya gitu. Makanannya sudah aku habiskan sebagian!”
“Segitu juga cukup buatku, kok!” Hayden tersenyum.

Aku menyerahkan kotak makan siangku pada sang aktor. Apa dia bisa menerima rasa makan siangku? Dia aktor besar dengan penghasilan setinggi gunung. Apapun yang masuk ke mulutnya pasti juga berharga setinggi gunung!

“Ini kamu yang masak?” tanya Hayden.
Aku menggangguk. “Ya,”
“Enak banget!”
“Biasa aja lagi! Itu menu makanku sehari-hari. Aku aja udah rada-rada bosan!”
“Tapi aku belum pernah makan yang seperti ini lagi!”

Mau tahu menu makan siangku: kacang tanah yang digoreng dan dibumbui pedas manis, kentang goreng yang juga dibumbui pedas manis , dan ditambah sedikit mie goreng! Dan Hayden bilang dia tidak pernah makan yang seperti ini.

“Kalo ibu masih ada pasti masakannya kayak gini.” ucap Hayden dengan suara tercekat.
“Ibumu orang Bali, ya?”
Hayden memandangku. “Iya, kalo ayahku orang Bali keturunan Belanda. Dulu waktu kecil masakan ibu seperti ini. Sederhana tapi enaknya minta ampun!”
Aku tersenyum kecil, “Sorry, I don’t mean to hurt you!”
“It’s okay!”

Hayden menelan habis seluruh makan siangku. Tidak hanya itu, dia juga menghabiskan air mineralku! Apa yang terjadi padanya? Sebegitu stress-kah menghadapi acara konferensi pers? Aku sangat ingin bertanya tentang Jepang pada Hayden (mengingat dia pernah tinggal disana) tapi aku keburu dihalangi oleh kedatangan guru-guru lain, yang terkejut melihat kotak makan siangku ada dihadapan Hayden.

@@@@

Aku pulang ke kost dan mendapati Ina duduk di depan kamarnya. Dia tidak membawa laptopnya. Dia hanya bengong memandangi entah apa. Mungkin awan, burung yang lewat di atas tempat kost, atau kupu-kupu. Aku pikir, seharusnya dia sedang berada di kantornya dan bersiap-siap untuk acara konferensi pers.

“Kok udah pulang?” tanyaku.
Ina sedikit kaget (dan membuktikan kalau dia tidak menyadari kedatanganku). “Oh, ya,”
“Jam berapa mau berangkat?”
“Kemana?” Ina masih belum memandangku. Pandangan matanya jauh.
“Konferensi pers!”
“Oh, aku nggak jadi ngeliput. Helen yang kesana!”
“Kok gitu?”
“Kamu mau datang kesana?”
“Nggak!”
“Oh ya, apa aja yang dilakukan kepala sekolah belakangan ini?”

Aku menjelaskan kalau atasanku tidak melakukan hal yang di luar kebiasaannya. Dia masih bersikap biasa saja. Misalnya, dia masih sibuk menandatangani beberapa surat dan sibuk rapat di dinas pendidikan. Dan bulan depan bakal ada Pekan Olahraga Pelajar dan SMA 33 sudah pasti ikut. Kepala Sekolah sibuk menyiapkan hal ini.

“Apa dia tidak menerima telpon dari orang tertentu?” tanya Ina.
“Orang tertentu apa?”
Ina mengalihkan pandangannya padaku. “Yah, orang yang belum pernah menelponnya sebelumnya!”
“Kalau yang begitu aku nggak tahu!”
“Guru-guru yang lain datang ke konferensi pers, ya?” Ina bertanya lagi.
“Iya. Apa mereka pikir itu acara nonton bareng?!”

Ina kemudian menjelaskan kalau Hayden itu orang terkenal, jadi wajar kalau mereka bertingkah seperti itu. Dia juga bertanya apa aku sama sekali tidak tertarik pada Hayden?

“Kenapa kamu jadi aneh?” tanyaku pada Ina.
“Aneh?”
“Iya, hari ini kamu bersikap begitu jauh. Apa ada masalah?”
Ina terlihat keheranan. “Nggak. Malah kamu yang aneh. Masak tidak tertarik pada Hayden? Apa yang salah dengannya? Dia keren!”
“Oh-ho, dia emang keren. Tapi aku belum kenal dengannya sepenuhnya!”

Ina lalu bangkit dan masuk ke kamarnya. Tidak lama kemudian dia keluar sambil membawa laptop dan modem.

“Sebaiknya kamu browsing internet biar tahu Hayden!” kata Ina.
“Buat apa?” tanyaku.
“Ya, biar nggak ketingalan kereta!”
“Kereta kemana? Aku udah punya motor! Jadi nggak perlu kereta!”
“Aduh, anak ini kalau dikasi tahu suka ngelawan!”
“Aku nggak ngelawan. Hanya membela diri!”

Laptopnya sudah ada di pangkuanku. Siap utuk digunakan. Aku mencoba memikirkan beberapa alasan kenapa aku harus mencari tahu segala hal tentang Hayden Mahendra. Ina kemudian berkata aku terlalu banyak mikir. Apa salahnya menambah pengetahuan? Ina benar dan aku mulai beraksi!

Begitu aku mengetik nama Hayden di mesin pencari, langsung ada banyak tawaran. Misalnya, perceraian Hayden Mahendra, film terbaru Hayden, kematian Hayden, atau Hayden Mahendra terjerat narkoba. Semuanya aku singkirkan dan mengetik “Profil Hayden Mahendra”.

Dari informasi yang aku baca, Hayden itu bisa dibilang aktor internasional. Dia pernah bermain film bareng Hugh Jackman (aku tahu film ini soalnya aku suka Hugh!). Dia juga pernah main bareng Hyun Bin dan Song Il Gook dalam film berjudul, “Broker Weapon”. Dalam film itu Hayden, Hyun Bin, dan Song Il Gook adalah saudara kembar. Tapi sejak kecil mereka dipisahkan dan baru bertemu setelah dewasa sebagai penjual senjata illegal. Kalau film yang ini belum pernah aku tonton.

Bagaimana ya, aku bukan penggemar selebritis jadi sulit sekali mencerna informasi seperti ini. Aku lebih suka karya sastra dan buku-buku psikologi. Apa aku harus menghapalnya? Tapi buat apa coba. Toh, kalau bertemu Hayden aku tidak mungkin membicarakan hal kayak begini. Malu-maluin banget!

Dari informasi di internet aku tahu kalau Hayden itu lebih tua 11 tahun dariku. Hohohoho… kenapa dia terlihat seperti seusia denganku? Tapi itulah perbedaan selebriti dengan kita, orang biasa. Mereka bisa tampak sepuluh tahun lebih muda dari usia mereka.

Berita paling heboh yang aku baca adalah berita perceraian Hayden dengan istrinya. Banyak yang mengasumsikan kalau Hayden dan istrinya sama-sama punya selingkuhan! Ha-ha! Tapi kalau mau jujur, sesungguhnya aku tidak peduli. Seharusnya, berita negatif kayak begitu tidak diumbar-umbar. Mungkin bakal ada orang yang meniru skenarionya!

Jumat, 14 Mei 2010

Guru Idola – Chapter 4

Aku sedikit gugup ketika masuk kelas siang itu. Apa yang harus aku katakan pada murid-muridku? Aku tidak terlalu banyak mendapatkan informasi tentang Hayden. Kenapa dia memutuskan jadi guru? Kenapa dia tidak main film saja? Aku sama sekali tidak tahu alasannya.

Sebenarnya aku ingin menanyakan itu pada Hayden saat mengajaknya kembali ke ruang guru. Akan tetapi, Mili dan Bu Ayu menghentikan segalanya. Ternyata jam pelajaran untuk mata pelajaran mereka sudah habis. Dan dengan semangat mereka menunggu aku dan Hayden. Yah, sebenarnya hanya menunggu Hayden. Sebab, mereka tidak memedulikanku saat aku tiba di ruang guru.

Jadi saat tiba giliranku untuk mengajar, kutinggalkan saja Hayden. Biar dia tahu rasa dikeroyok teman-temanku.

Hanya satu hal yang aku takutkan siang itu. Aku takut kalau aku akan gagal membuat murid-muridku berkonsentrasi. Dan tahu tidak, ketakutanku benar-benar menjadi nyata. Duh, rasanya pengen meledak saja.

Yang paling pertama bertanya adalah siswi yang duduk di deretan paling utara.
“Bu, guru olahraga yang baru beneran artis, ya?” tanyanya. Aku lupa nama cewek itu. Tapi yang aku tahu, dia adalah yang tergenit di kelas X.3, kelas yang kuajar (apakah aku sudah bilang kalau aku adalah wali kelas dari kelas X.3? Itu kenyataan yang pahit). Tambahan pula, dia adalah salah satu yang terbodoh. Mungkin namanya Dian.

“Ya,” jawabku tenang. Aku mulai membacakan absen. Tapi aku terus-terusan diberondong pertanyaan. Tidak hanya oleh Dian si genit, tapi juga oleh siswi yang lainnya. Apakah wartawan akan datang ke SMA 33? Dimana Hayden tinggal sekarang? Berapa nomer handphone-nya? Apakah dia sudah punya kekasih baru? Kenapa dia bisa bercerai dengan istrinya? Dan seterusnya. Yang absent dari kegilaan ini adalah para cowok yang tertegun di bangku-bangku bagian belakang ditambah dengan dua cewek yang duduk dihadapanku, Nia dan Fika. Aku sempat memandangi kedua anak itu. Dan reaksi mereka: hanya senyuman dan gelengan kepala. Rasanya aku sangat ingin meledak hari itu.

Kalau biasanya, anak-anak itu bakal diam saja. Ketika ditanya apakah mereka sudah mengerti materi yang aku jelaskan, mereka pasti diam. Saat ditanya apakah ada bagian yang sulit, mereka juga pasti diam. Semuanya jadi beda bila berhubungan dengan Hayden. Kecuali tentu saja Nia dan Fika. Nia sangat pintar. Nilai matematikanya luar biasa. Aku juga tidak menemukan kesulitan mengajarinya bahasa Inggris. Sementara, Fika punya prestasi menonjol dalam bidang Biologi. Hanya mereka harapanku di kelas X.3!

Untuk menghentikan kegilaan murid-muridku, aku menerapkan cara lama. Aku menyuruh mereka mengeluarkan selembar kertas. Ulangan mendadak. Cara ini cukup berhasil. Meski mereka tidak berhenti rebut, tapi paling tidak mereka berhenti membicarakan Hayden Mahendra.

Suasana yang hampir sama menyambutku ketika aku masuk ke kelas X.5! Semua siswi di kelas itu jadi gila. Bahkan mereka tetap membicarakan Hayden Mahendra di tengah-tengah ulangan. Inilah contoh kegagalanku menjadi seorang pendidik.

Aku kaget waktu melihat Hayden di mejanya waktu aku kembali ke ruang guru. Dia duduk dengan tenang sambil membaca silabus yang aku berikan. Guru-guru yang lain sudah menghilang. Tapi mungkin saja mereka kembali ke asal. Mengajar, maksudku.

“Sudah selesai?” tanya Hayden lalu menutup bacaannya.
“Ya,” jawabku kemudian meneguk segelas air.
“Bagaimana tadi?” tanyanya lagi.
Aku berjalan ke mejaku dan duduk. “Lebih sulit!”

Sebenarnya aku tidak bermaksud menyinggung Hayden. Mungkin sikap ketusku karena akumulasi kemarahanku yang tidak tersalurkan. Jadi waktu aku melihat ekspresi bersalah di wajah Hayden, aku buru-buru mengatakan kalau para murid mungkin histeris karena menyadari ada orang terkenal yang akan menjadi guru olahraga mereka yang baru. Aku juga meyakinkan Hayden kalau hal kayak begini tidak akan berlangsung lama.

Berikutnya, terjadi jeda yang cukup lama. Soalnya, aku sibuk memeriksa hasil ulangan murid-muridku. Sementara Hayden, yah, dia sibuk memandangiku yang sedang melakukan salah satu tugas pokok seorang guru.

“Besok aku akan menggelar konferensi pers!” kata Hayden. Aku segera menghentikan aktivitasku. Ada dua hal yang mengganggu pikiranku. Yang pertama, Hayden sudah tidak canggung lagi padaku. Maksudku, setidaknya dia sudah memakai “aku” bukan “saya” lagi. Dan yang kedua, konferensi pers yang dia sebutkan membuatku mengingat satu orang: Ina! Apa yang harus aku katakan padanya? Aktor yang selama ini dia bicarakan, ternyata lebih memilih menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Oke, kalau misalnya dia sudah tahu (Ina itu wartawan dan informasi heboh selalu cepat sampai ke telinganya). Tapi akan jadi masalah kalau Ina belum tahu. Bagaimana aku akan memberitahunya? Apakah aku harus memberitahunya? Tapi di atas itu semua, bagaimana kalau Ina menyuruhky memata-matai Hayden?

“Aku nggak mau sekolah ini diserbu wartawan!” lanjut Hayden.
“Dimana acaranya bakal digelar?” tanyaku.
“Di Hard Rock.”
Aku manggut-manggut saja. Soalnya, Ina dengan sangat cepat memenuhi otakku.

@@@@

Untuk pertama kalinya siang itu, aku tidak ingin pulang ke tempat kost-ku. Aku bingung dan sama sekali tidak tahu harus bilang apa pada Ina. Dia mungkin sudah mendapatkan berita tentang kegilaan Hayden. Dan mungkin saja Ina bakal menyuruhku memata-matai aktor itu. Pikiran ini membuatku gila.

Untungnya, waktu aku sampai di kost, kamar Ina masih terlihat sepi. Dia masih di kantornya. Aku segera masuk ke dalam kamarnya dan mengurung diri. Aku memutar lagunya Enya kemudian merebahkan diri di atas tempat tidurku.

Aku dibangunkan oleh suara rebut-ribut yang diciptakan Ina. Dia sedang mengobrol dengan seseorang. Aku kenal dengan suara itu. Ina sedang bersama Helen, salah satu rekannya di Populis. Mengingat wajah wanita itu membuatku merinding. Helen adalah wanita heboh. Umurnya sudah mencapai kepala tiga. Namun, dia belum menikah. Kata Ina, dia bahkan belum punya pasangan. Dari penampilannya, aku bisa menebak kalau Helen adalah wanita pemilih. Dia senang mengenakan pakaian serba ketat dengan warna cerah. Model busananya selalu berubah mengikuti trend. Pokoknya, dia adalah tante gaul.

Aku baru keluar kamar setelah Helen pergi dan Ina langsung menyambutku dengan kalimat mengejutkan.
“Pasti kaget waktu kamu tahu guru baru di sekolah adalah Hayden Mahendra!” katanya. Dia tidak menatap mataku tapi pandangannya tertuju pada pot-pot bunga di depan kamarku.
“Iya. Nggak ada yang ngasih tahu aku sebelumnya.”
“Konferensi persnya diadakan besok sore. Apa kamu mau ikut denganku?”
“Buat apa?” tanyaku.
“Yah, siapa tahu aja kamu pengen lebih mengenal Hayden!” Ina tersenyum padaku.
“Arah, malas ah!”

Aku pergi ke dapur dan meneguk segelas air putih. Waktu kembali ke teras, aku mendapati Ina sudah menyalakan laptopnya. Dia sedang main internet.

“Aku udah dapat titik terang penjualan SMA 33!” ucap Ina.
“Kayaknya memang nggak bakal dijual!” kataku, kurang yakin. Entah kenapa?
“Jian, pokoknya kamu harus terus mengawasi apa saja yang terjadi disana. Terutama kepala sekolah!”
“Kepala sekolah?”
Ina mengangguk. Menurutku ini lebih buruk karena aku malah harus mengawasi kepala sekolah. Atasanku sendiri!

Duniaku: Hari Ini, Esok, dan Seterusnya

Waktu masih SD dulu, saya paling ingat pada satu perasaan saya ketika Pak Guru menceritakan tentang benda langit yang bernama meteor. Pak Guru mengatakan bahwa meteor pernah menghampiri bumi hingga membentuk lubang yang luar biasa luas di Arizona sana.

Otak saya langsung saja memproses informasi tentang meteor ini. Bagaimana kalau sebuah meteor jatuh di Bali? Apakah akan ada yang memberikan peringatan awal? Pertanyaan sejenis itu langsung saja berterbangan di benak saya. Dalam hati saya terus berdoa semoga tidak ada satu meteor pun yang jatuh di Bali. Paling tidak, meskipun ada meteor yang jatuh di Bali, semoga saja benda itu tidak jatuh di rumah saya.

Kemudian saya tahu jika pergerakan benda-benda di Galaksi Bima Sakti selalu di pantau oleh para ahli astronomi. Jadi, kalau ada meteor yang bakal jatuh di Bumi pasti bisa terdeteksi.

Akan tetapi, pada waktu saya masih seorang siswi SMP, kedua bola mata saya menyaksikan sebuah Negara besar menyerang Negara lainnya dengan senjata-senjata yang super canggih. Kembali, otak saya memproses informasi itu. Bagaimana dengan penduduk negeri itu? Apa mereka bersembunyi? Dimana? Bukankah senjata-senjata yang ditumpahkan ke negeri itu sangat berbahaya?

Hanya saja, pertanyaan yang paling lantang berteriak di kepala saya adalah bagaimana kalau negeri saya yang di serang? Bagaimana kalau ratusan rudal jatuh di halaman rumah saya? Apa saya akan bertahan hidup? Dan kalaupun saya bertahan hidup, apakah anggota tubuh saya akan tetap lengkap? Terlalu banyak pertanyaan.

Memang benar apa yang dikatakan oleh guru agama saya saat SMA. Beliau mengatakan bahwa jaman sekarang ini disebut jaman kaliyuga. Katanya, jaman kaliyuga ini adalah jaman yang penuh dengan kekacauan. Pokoknya ada sangat banyak dosa di dalamnya.

Mungkin setelah jaman ini berakhir kita akan bertemu dengan jaman baru. Jadi ini seperti sebuah siklus. Bukankah hal yang sama terjadi pada dinosaurus? Binatang besar itu dan kawan-kawannya punah karena jaman es? Mereka punah karena di telan jaman.

Manusia juga bertingkah sama seperti dinosaurus. Mereka ingin jadi penguasa. Karena itulah, mereka memakan apa saja yang dilalui dan dilihatnya. Mereka melakukan segalanya tanpa perasaan.

Bumi ini sudah semakin tua. Jadi wajar saja apabila banyak bencana alam yang muncul. Masalahnya, manusia yang dilindungi Ibu Pertiwi di atas tubuhnya bertindak sangat kejam dan sewenang-wenang. Bumi ini mematok harga yang sangat mahal untuk segala hal yang telah diberikannya. Dia tidak akan puas hanya dengan persembahan-persembahan. Ibu Pertiwi menginginkan hal yang lebih realistik yaitu perbuatan baik terhadap sesama.

Hari ini saya masih melihat aliran darah. Esok pun akan tetap sama. Dan seterusnya akan begitu. Tapi, bukankah kita bisa menghentikan segalanya? Buat apa kita memperebutkan hal yang hanya bersifat ilusi? Lebih baik kita berjalan bersama ke depan sambil berpegangan tangan. Kalimat itu bahkan sangat indah saat di baca. Akan lebih indah lagi apabila kalimat itu menjadi nyata.

Kita dilahirkan sebagai manusia karena Tuhan ingin agar kita melakukan satu kebaikan bagi dunia. Anggap saja bahwa dunia ini adalah benda kesayangan Tuhan. Tentu merupakan suatu tugas mulia karena manusialah yang dipilih Tuhan untuk menjaga benda kesayanganNya.

Jumat, 07 Mei 2010

Ode Untuk Sahabat

Saat pertama kali bertemu, aku sudah ragu
Tapi kau punya senyum yang sangat lugu
Lupalah aku pada kata hatiku
Kau tolong aku dalam segala
Kau beri aku tempat bahagia
Tapi kemudian kau dorong aku ke dalam jurang
Aku sama sekali tidak punya tempat berpegang
Aku menjadi dungu
Dan ingatlah aku pada kata hatiku yang dulu

Mereka

Di pojok sebelah situ
Ada wanita yang sedang patah hati
Dia menangis dengan setumpuk pilu
Mimpinya sejajar dengan matahari

Di bawah pohon itu
Ada pria yang sedang menanti
Dia tersenyum dengan setumpuk rindu
Mimpinya sudah hampir tercapai

Di lorong yang buntu
Ada kakek dan nenek menari
Mereka sedang mengenang masa lalu
Masa yang penuh dengan suka ria

Di sudut jalan itu
Ada anak kecil berwajah sendu
Dia sedang menanti masa depan
Yang katanya penuh harapan

Mendayung

Air danau bergolak hebat
Anak kura-kura segera merapat
Aku masih duduk sendiri di atas perahu
Mendayung dengan penuh pilu

Air danau semakin tak bersahabat
Tanganku semakin tak kuat
Tapi aku tetap berusaha
Melawan segala maha daya

Aku ingin sampai di tepi
Meminum air yang jernih
Memakan buah yang manis
Dan memeluk orang yang kucintai

Yang Kadang Kulupakan

Aku merasakan angin yang menggoyang rambutku
Air sungai menusuk ke dalam kakiku
Dinginnya tanah mengganti hangat tubuhku
Matahari yang tersenyum menyilaukanku

Aku punya begitu banyak harta
Yang bisa kupakai untuk berkelana
Menikmati indahnya surga
Yang selalu penuh dengan asa

Tapi kadang mataku tertutup kabut
Hatiku mengeras bagai batu
Tanganku menjadi liar
Dan kakiku menjadi pembangkang

Aku lupa pada hartaku
Aku lupa pada surgaku
Aku lupa pada asaku
Aku lupa pada diriku

Saat cicak berbunyi
Aku kembali mengerti
Dan saat langit terbuka
Aku sudah merdeka

Apa Lagi Yang Bisa Kukatakan

Apa lagi yang bisa kukatakan
Ketika aku merasa sudah berada di lautan
Yang gelombangnya membawaku kepadamu
Yang ikan-ikannya tersenyum saat kita bertemu

Apa lagi yang bisa kukatakan
Ketika tiba-tiba saja aku sudah berada di taman
Yang bunga-bunganya bermekaran oleh cintamu
Yang rumput-rumputnya bergoyang oleh pandanganmu

Template by:

Free Blog Templates