Jumat, 14 Mei 2010

Guru Idola – Chapter 4

Aku sedikit gugup ketika masuk kelas siang itu. Apa yang harus aku katakan pada murid-muridku? Aku tidak terlalu banyak mendapatkan informasi tentang Hayden. Kenapa dia memutuskan jadi guru? Kenapa dia tidak main film saja? Aku sama sekali tidak tahu alasannya.

Sebenarnya aku ingin menanyakan itu pada Hayden saat mengajaknya kembali ke ruang guru. Akan tetapi, Mili dan Bu Ayu menghentikan segalanya. Ternyata jam pelajaran untuk mata pelajaran mereka sudah habis. Dan dengan semangat mereka menunggu aku dan Hayden. Yah, sebenarnya hanya menunggu Hayden. Sebab, mereka tidak memedulikanku saat aku tiba di ruang guru.

Jadi saat tiba giliranku untuk mengajar, kutinggalkan saja Hayden. Biar dia tahu rasa dikeroyok teman-temanku.

Hanya satu hal yang aku takutkan siang itu. Aku takut kalau aku akan gagal membuat murid-muridku berkonsentrasi. Dan tahu tidak, ketakutanku benar-benar menjadi nyata. Duh, rasanya pengen meledak saja.

Yang paling pertama bertanya adalah siswi yang duduk di deretan paling utara.
“Bu, guru olahraga yang baru beneran artis, ya?” tanyanya. Aku lupa nama cewek itu. Tapi yang aku tahu, dia adalah yang tergenit di kelas X.3, kelas yang kuajar (apakah aku sudah bilang kalau aku adalah wali kelas dari kelas X.3? Itu kenyataan yang pahit). Tambahan pula, dia adalah salah satu yang terbodoh. Mungkin namanya Dian.

“Ya,” jawabku tenang. Aku mulai membacakan absen. Tapi aku terus-terusan diberondong pertanyaan. Tidak hanya oleh Dian si genit, tapi juga oleh siswi yang lainnya. Apakah wartawan akan datang ke SMA 33? Dimana Hayden tinggal sekarang? Berapa nomer handphone-nya? Apakah dia sudah punya kekasih baru? Kenapa dia bisa bercerai dengan istrinya? Dan seterusnya. Yang absent dari kegilaan ini adalah para cowok yang tertegun di bangku-bangku bagian belakang ditambah dengan dua cewek yang duduk dihadapanku, Nia dan Fika. Aku sempat memandangi kedua anak itu. Dan reaksi mereka: hanya senyuman dan gelengan kepala. Rasanya aku sangat ingin meledak hari itu.

Kalau biasanya, anak-anak itu bakal diam saja. Ketika ditanya apakah mereka sudah mengerti materi yang aku jelaskan, mereka pasti diam. Saat ditanya apakah ada bagian yang sulit, mereka juga pasti diam. Semuanya jadi beda bila berhubungan dengan Hayden. Kecuali tentu saja Nia dan Fika. Nia sangat pintar. Nilai matematikanya luar biasa. Aku juga tidak menemukan kesulitan mengajarinya bahasa Inggris. Sementara, Fika punya prestasi menonjol dalam bidang Biologi. Hanya mereka harapanku di kelas X.3!

Untuk menghentikan kegilaan murid-muridku, aku menerapkan cara lama. Aku menyuruh mereka mengeluarkan selembar kertas. Ulangan mendadak. Cara ini cukup berhasil. Meski mereka tidak berhenti rebut, tapi paling tidak mereka berhenti membicarakan Hayden Mahendra.

Suasana yang hampir sama menyambutku ketika aku masuk ke kelas X.5! Semua siswi di kelas itu jadi gila. Bahkan mereka tetap membicarakan Hayden Mahendra di tengah-tengah ulangan. Inilah contoh kegagalanku menjadi seorang pendidik.

Aku kaget waktu melihat Hayden di mejanya waktu aku kembali ke ruang guru. Dia duduk dengan tenang sambil membaca silabus yang aku berikan. Guru-guru yang lain sudah menghilang. Tapi mungkin saja mereka kembali ke asal. Mengajar, maksudku.

“Sudah selesai?” tanya Hayden lalu menutup bacaannya.
“Ya,” jawabku kemudian meneguk segelas air.
“Bagaimana tadi?” tanyanya lagi.
Aku berjalan ke mejaku dan duduk. “Lebih sulit!”

Sebenarnya aku tidak bermaksud menyinggung Hayden. Mungkin sikap ketusku karena akumulasi kemarahanku yang tidak tersalurkan. Jadi waktu aku melihat ekspresi bersalah di wajah Hayden, aku buru-buru mengatakan kalau para murid mungkin histeris karena menyadari ada orang terkenal yang akan menjadi guru olahraga mereka yang baru. Aku juga meyakinkan Hayden kalau hal kayak begini tidak akan berlangsung lama.

Berikutnya, terjadi jeda yang cukup lama. Soalnya, aku sibuk memeriksa hasil ulangan murid-muridku. Sementara Hayden, yah, dia sibuk memandangiku yang sedang melakukan salah satu tugas pokok seorang guru.

“Besok aku akan menggelar konferensi pers!” kata Hayden. Aku segera menghentikan aktivitasku. Ada dua hal yang mengganggu pikiranku. Yang pertama, Hayden sudah tidak canggung lagi padaku. Maksudku, setidaknya dia sudah memakai “aku” bukan “saya” lagi. Dan yang kedua, konferensi pers yang dia sebutkan membuatku mengingat satu orang: Ina! Apa yang harus aku katakan padanya? Aktor yang selama ini dia bicarakan, ternyata lebih memilih menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Oke, kalau misalnya dia sudah tahu (Ina itu wartawan dan informasi heboh selalu cepat sampai ke telinganya). Tapi akan jadi masalah kalau Ina belum tahu. Bagaimana aku akan memberitahunya? Apakah aku harus memberitahunya? Tapi di atas itu semua, bagaimana kalau Ina menyuruhky memata-matai Hayden?

“Aku nggak mau sekolah ini diserbu wartawan!” lanjut Hayden.
“Dimana acaranya bakal digelar?” tanyaku.
“Di Hard Rock.”
Aku manggut-manggut saja. Soalnya, Ina dengan sangat cepat memenuhi otakku.

@@@@

Untuk pertama kalinya siang itu, aku tidak ingin pulang ke tempat kost-ku. Aku bingung dan sama sekali tidak tahu harus bilang apa pada Ina. Dia mungkin sudah mendapatkan berita tentang kegilaan Hayden. Dan mungkin saja Ina bakal menyuruhku memata-matai aktor itu. Pikiran ini membuatku gila.

Untungnya, waktu aku sampai di kost, kamar Ina masih terlihat sepi. Dia masih di kantornya. Aku segera masuk ke dalam kamarnya dan mengurung diri. Aku memutar lagunya Enya kemudian merebahkan diri di atas tempat tidurku.

Aku dibangunkan oleh suara rebut-ribut yang diciptakan Ina. Dia sedang mengobrol dengan seseorang. Aku kenal dengan suara itu. Ina sedang bersama Helen, salah satu rekannya di Populis. Mengingat wajah wanita itu membuatku merinding. Helen adalah wanita heboh. Umurnya sudah mencapai kepala tiga. Namun, dia belum menikah. Kata Ina, dia bahkan belum punya pasangan. Dari penampilannya, aku bisa menebak kalau Helen adalah wanita pemilih. Dia senang mengenakan pakaian serba ketat dengan warna cerah. Model busananya selalu berubah mengikuti trend. Pokoknya, dia adalah tante gaul.

Aku baru keluar kamar setelah Helen pergi dan Ina langsung menyambutku dengan kalimat mengejutkan.
“Pasti kaget waktu kamu tahu guru baru di sekolah adalah Hayden Mahendra!” katanya. Dia tidak menatap mataku tapi pandangannya tertuju pada pot-pot bunga di depan kamarku.
“Iya. Nggak ada yang ngasih tahu aku sebelumnya.”
“Konferensi persnya diadakan besok sore. Apa kamu mau ikut denganku?”
“Buat apa?” tanyaku.
“Yah, siapa tahu aja kamu pengen lebih mengenal Hayden!” Ina tersenyum padaku.
“Arah, malas ah!”

Aku pergi ke dapur dan meneguk segelas air putih. Waktu kembali ke teras, aku mendapati Ina sudah menyalakan laptopnya. Dia sedang main internet.

“Aku udah dapat titik terang penjualan SMA 33!” ucap Ina.
“Kayaknya memang nggak bakal dijual!” kataku, kurang yakin. Entah kenapa?
“Jian, pokoknya kamu harus terus mengawasi apa saja yang terjadi disana. Terutama kepala sekolah!”
“Kepala sekolah?”
Ina mengangguk. Menurutku ini lebih buruk karena aku malah harus mengawasi kepala sekolah. Atasanku sendiri!

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates