Senin, 17 Mei 2010

Guru Idola – Chapter 5

Konferensi pers-nya di gelar di Hard Rock Hotel. Begitu kata Hayden. Tapi jelas, aku tidak akan datang. Buat apa? Aku bukan wartawan, bukan juga penggemar berat Hayden. Mili dan beberapa guru yang lain berencana datang. Waktu mendengar pengumuman itu, aku jadi merinding. Memangnya mereka pikir itu acara nonton bareng? Hayden mungkin bakal berpikir kalau teman-temanku itu orang aneh.

Tadi pagi, Hayden sudah mulai mengajar. Sudah bisa ditebak kalau beberapa siswi jadi heboh. Mereka nyengir kayak sapi. Tapi aku bersyukur, beberapa yang lainnya masih bisa mengendalikan diri. Cara Hayden mengajar cukup professional. Dia tidak canggung (oh jelas saja, dia kan bintang terkenal!). Dia juga mampu berkomunikasi dengan baik serta mampu menyampaikan ide-idenya pada para siswa. Mungkin sebenarnya dia sudah ikut les mengajar atau apa.

Yang aneh di ruang guru sejak kedatangan Hayden adalah mejaku jadi sering dikunjungi oleh guru-guru yang lain. Kalau biasanya, hanya Mili yang rajin datang ke mejaku. Ada juga beberapa yang lain. Itu pun hanya untuk menyerahkan surat atau undangan lomba. Kalau sekarang, mereka datang tanpa alasan. Ada juga yang hanya sekedar bertanya apa aku tidak memberikan ulangan pada siswa? Kalau iya, mereka mau membantu memeriksa hasil ulangannya. Aneh.

Aku ingin berteriak saja kenapa mereka tidak langsung saja pada intinya, yaitu ingin mengobrol dengan Hayden. Apa salahnya kalau cuman ingin mengobrol? Tidak akan dihukum mati dan tidak melanggar hak asasi manusia! Mili juga jadi menyebalkan. Dia tidak lagi mau makan siang denganku. Mili lebih memilih makan bareng guru-guru lain di kantin sekolah. Mereka ingin makan dengan Hayden disana.

Aku sendiri lebih senang membawa makanan sendiri. Ada beberapa alasan yang mendukungku. Yang pertama, harga makanan di kantin mahalnya minta ampun. Gajiku bisa habis cuma untuk membeli makan siang. Yang kedua, aku tahu dengan membawa bekal makan siang dalam kotak makan siangku, aku bisa menyelamatkan dunia. Yah, aku jadi lebih sedikit menghasilkan sampah. Dulu Mili juga mendukung alasan ini.

Jadilah aku sendiri di ruang guru. Aku sudah membuka kotak makan siangku ketika aku sadar kalau ada orang yang masuk. Aku menengadah dan melihat Hayden tersenyum lebar kepadaku. Apa yang dia lakukan disini? Apa dia tidak lapar? Seharusnya dia berada di kantin dengan guru yang lain.

“Kamu bawa bekal sendiri, ya?” tanya Hayden padaku.
“Ya,” jawabku lalu mulai makan. “Oh ya, kamu nggak makan?”
“Nggak. Aku sedikit merasa aneh makan di kantin. Rame banget!”
“Kenapa nggak beli aja terus dibungkus buat dimakan disini?”

Apa yang aku katakan? Aku baru saja mengajak Hayden makan siang bareng. Apa Mili bakal kesal? Dia sudah rugi datang ke kantin.

“Ah, lebih baik nggak!” kata Hayden.
“Makanan di kantin emang nggak terlalu enak sih…” ucapku.
“Bukan begitu! Hanya hari ini memang nggak selera makan!”
Aku menelan makan siangku. “Memangnya ada apa?”
“Masih mikirin acara nanti malam.”
“Ohhhh…”

Aku mengunyah lagi dan sebenarnya aku sadar kalau Hayden memandangiku. Ini sudah untuk yang kedua kalinya dia memandangku seperti itu. Seakan-akan dia mau menelanku hidup-hidup! Atau jangan-jangan dia naksir aku? Yang ini sangat mengerikan dan tidak mungkin terjadi. Apa yang dia suka dari diriku? Aku sangat sangat biasa. Aku tidak tinggi seperti kebanykan teman-teman artisnya. Kulitku tidak putih-putih amat. Dan wajahku, yah, sangat biasa seperti kebanyakan wanita-wanita di Bali pada umumnya. Lalu apanya yang menarik dari diriku? Tiba-tiba aku sadar!

“Kamu mau mencoba makananku?” tanyaku pada Hayden.
“Nggak apa-apa nih?”
“Seharusnya aku yang nanya gitu. Makanannya sudah aku habiskan sebagian!”
“Segitu juga cukup buatku, kok!” Hayden tersenyum.

Aku menyerahkan kotak makan siangku pada sang aktor. Apa dia bisa menerima rasa makan siangku? Dia aktor besar dengan penghasilan setinggi gunung. Apapun yang masuk ke mulutnya pasti juga berharga setinggi gunung!

“Ini kamu yang masak?” tanya Hayden.
Aku menggangguk. “Ya,”
“Enak banget!”
“Biasa aja lagi! Itu menu makanku sehari-hari. Aku aja udah rada-rada bosan!”
“Tapi aku belum pernah makan yang seperti ini lagi!”

Mau tahu menu makan siangku: kacang tanah yang digoreng dan dibumbui pedas manis, kentang goreng yang juga dibumbui pedas manis , dan ditambah sedikit mie goreng! Dan Hayden bilang dia tidak pernah makan yang seperti ini.

“Kalo ibu masih ada pasti masakannya kayak gini.” ucap Hayden dengan suara tercekat.
“Ibumu orang Bali, ya?”
Hayden memandangku. “Iya, kalo ayahku orang Bali keturunan Belanda. Dulu waktu kecil masakan ibu seperti ini. Sederhana tapi enaknya minta ampun!”
Aku tersenyum kecil, “Sorry, I don’t mean to hurt you!”
“It’s okay!”

Hayden menelan habis seluruh makan siangku. Tidak hanya itu, dia juga menghabiskan air mineralku! Apa yang terjadi padanya? Sebegitu stress-kah menghadapi acara konferensi pers? Aku sangat ingin bertanya tentang Jepang pada Hayden (mengingat dia pernah tinggal disana) tapi aku keburu dihalangi oleh kedatangan guru-guru lain, yang terkejut melihat kotak makan siangku ada dihadapan Hayden.

@@@@

Aku pulang ke kost dan mendapati Ina duduk di depan kamarnya. Dia tidak membawa laptopnya. Dia hanya bengong memandangi entah apa. Mungkin awan, burung yang lewat di atas tempat kost, atau kupu-kupu. Aku pikir, seharusnya dia sedang berada di kantornya dan bersiap-siap untuk acara konferensi pers.

“Kok udah pulang?” tanyaku.
Ina sedikit kaget (dan membuktikan kalau dia tidak menyadari kedatanganku). “Oh, ya,”
“Jam berapa mau berangkat?”
“Kemana?” Ina masih belum memandangku. Pandangan matanya jauh.
“Konferensi pers!”
“Oh, aku nggak jadi ngeliput. Helen yang kesana!”
“Kok gitu?”
“Kamu mau datang kesana?”
“Nggak!”
“Oh ya, apa aja yang dilakukan kepala sekolah belakangan ini?”

Aku menjelaskan kalau atasanku tidak melakukan hal yang di luar kebiasaannya. Dia masih bersikap biasa saja. Misalnya, dia masih sibuk menandatangani beberapa surat dan sibuk rapat di dinas pendidikan. Dan bulan depan bakal ada Pekan Olahraga Pelajar dan SMA 33 sudah pasti ikut. Kepala Sekolah sibuk menyiapkan hal ini.

“Apa dia tidak menerima telpon dari orang tertentu?” tanya Ina.
“Orang tertentu apa?”
Ina mengalihkan pandangannya padaku. “Yah, orang yang belum pernah menelponnya sebelumnya!”
“Kalau yang begitu aku nggak tahu!”
“Guru-guru yang lain datang ke konferensi pers, ya?” Ina bertanya lagi.
“Iya. Apa mereka pikir itu acara nonton bareng?!”

Ina kemudian menjelaskan kalau Hayden itu orang terkenal, jadi wajar kalau mereka bertingkah seperti itu. Dia juga bertanya apa aku sama sekali tidak tertarik pada Hayden?

“Kenapa kamu jadi aneh?” tanyaku pada Ina.
“Aneh?”
“Iya, hari ini kamu bersikap begitu jauh. Apa ada masalah?”
Ina terlihat keheranan. “Nggak. Malah kamu yang aneh. Masak tidak tertarik pada Hayden? Apa yang salah dengannya? Dia keren!”
“Oh-ho, dia emang keren. Tapi aku belum kenal dengannya sepenuhnya!”

Ina lalu bangkit dan masuk ke kamarnya. Tidak lama kemudian dia keluar sambil membawa laptop dan modem.

“Sebaiknya kamu browsing internet biar tahu Hayden!” kata Ina.
“Buat apa?” tanyaku.
“Ya, biar nggak ketingalan kereta!”
“Kereta kemana? Aku udah punya motor! Jadi nggak perlu kereta!”
“Aduh, anak ini kalau dikasi tahu suka ngelawan!”
“Aku nggak ngelawan. Hanya membela diri!”

Laptopnya sudah ada di pangkuanku. Siap utuk digunakan. Aku mencoba memikirkan beberapa alasan kenapa aku harus mencari tahu segala hal tentang Hayden Mahendra. Ina kemudian berkata aku terlalu banyak mikir. Apa salahnya menambah pengetahuan? Ina benar dan aku mulai beraksi!

Begitu aku mengetik nama Hayden di mesin pencari, langsung ada banyak tawaran. Misalnya, perceraian Hayden Mahendra, film terbaru Hayden, kematian Hayden, atau Hayden Mahendra terjerat narkoba. Semuanya aku singkirkan dan mengetik “Profil Hayden Mahendra”.

Dari informasi yang aku baca, Hayden itu bisa dibilang aktor internasional. Dia pernah bermain film bareng Hugh Jackman (aku tahu film ini soalnya aku suka Hugh!). Dia juga pernah main bareng Hyun Bin dan Song Il Gook dalam film berjudul, “Broker Weapon”. Dalam film itu Hayden, Hyun Bin, dan Song Il Gook adalah saudara kembar. Tapi sejak kecil mereka dipisahkan dan baru bertemu setelah dewasa sebagai penjual senjata illegal. Kalau film yang ini belum pernah aku tonton.

Bagaimana ya, aku bukan penggemar selebritis jadi sulit sekali mencerna informasi seperti ini. Aku lebih suka karya sastra dan buku-buku psikologi. Apa aku harus menghapalnya? Tapi buat apa coba. Toh, kalau bertemu Hayden aku tidak mungkin membicarakan hal kayak begini. Malu-maluin banget!

Dari informasi di internet aku tahu kalau Hayden itu lebih tua 11 tahun dariku. Hohohoho… kenapa dia terlihat seperti seusia denganku? Tapi itulah perbedaan selebriti dengan kita, orang biasa. Mereka bisa tampak sepuluh tahun lebih muda dari usia mereka.

Berita paling heboh yang aku baca adalah berita perceraian Hayden dengan istrinya. Banyak yang mengasumsikan kalau Hayden dan istrinya sama-sama punya selingkuhan! Ha-ha! Tapi kalau mau jujur, sesungguhnya aku tidak peduli. Seharusnya, berita negatif kayak begitu tidak diumbar-umbar. Mungkin bakal ada orang yang meniru skenarionya!

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates