Jumat, 23 April 2010

Guru Idola – Chapter 3

Mili berani bertaruh kalau guru olahraga yang baru itu pasti sudah tua. Alasannya, dia tidak perlu mengikuti tes masuk. Pangalamannya mengajar pasti sudah tidak diragukan lagi. Mili juga menambahkan kalau si guru baru seperti badut – gendut, buncit, dan sejenisnya.

Menurutku perkiraannya sedikit kejam. Kalau aku, aku membayangkan jika si guru baru masih muda – dua atau tiga tahun lebih tua dari aku dan Mili. Dia mungkin sudah pernah mengajar di tempat lain jadi sama sekali tidak perlu mengikuti tes masuk. Dan karena dia guru olahraga, bodinya pasti perfect – atletis!

Tapi pagi itu kepala Mili pasti terbentur atau kejatuhan meteor. Dia datang sangat pagi. Tersenyum lebar padaku dan bahkan menawarkan diri untuk menjadi guide si guru baru. Inilah untuk pertama kalinya aku melihat Mili bersikap seperti itu. Dia menjadi Mili yang itu. Mili yang centil, cerewet, banyak gaya, dan banyak tingkah. Pokoknya dia adalah Mili yang aku bayangkan sebelum bertemu dengannya dulu. Dan waktu aku menoleh ke seluruh ruang guru, pemandangan yang sama tersaji dihadapanku.

“Kalo kamu nggak mau menjadi pemandu si guru baru, aku mau kok!” Mili menawarkan sambil tersenyum.
Aku mengerjap-ngerjap. “Nggak akan aku biarin kamu yang jadi pemandunya. Aku sudah capek-capek bangun pagi hari ini!” Kataku.
“Katanya kemarin nggak mau?”
“Kamu kenapa sih, Mil?”
“Nggak kenapa-napa! Oh ya, jangan kasih tahu si guru baru perkataannku yang tadi malam itu, ya?”
“Yang mana?”
“Yang tebak-tebakan itu!”
“Jelas nggak bakal aku kasih tahu. Aku kan bukan ember!”

Kemudian Bu Ayu menyela obrolan kami. Berkali-kali dia berkata kalau aku sangat beruntung. Bahkan, dia menggoyang-goyangkan tanganku. Sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang Bu Ayu sebelumnya, sejak aku mulai mengajar di SMA 33.

Kemudian dia mengatakan sesuatu yang menurutku aneh. Bu Ayu, guru Bahasa Indonesia yang paling aku kagumi, memintaku untuk mengenalkan dirinya pada si guru baru. Yang lebih aneh lagi, semua guru juga meminta hal yang sama!

Bel tanda masuk kelas berbunyi. Semua guru bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya. Sebelum masuk ke dalam kelas, mereka sekali lagi mengingatkanku agar tidak lupa mengenalkan si guru baru. Aha! Dasar orang-orang aneh. Dan aku tidak percaya bahwa Mili ada didalamnya!

@@@@

Karena sudah capek menunggu di ruang guru, aku memutuskan untuk keluar jalan-jalan. Aku pergi ke gerbang depan, mengobrol sebentar dengan satpam sekolah.

“Dapat tugas tambahan, Bu?” tanya Pak Satpam.
“Iya, disuruh memandu guru baru keliling sekolah.”
“Jangan lupa ajak ke lapangan sepak bola. Kabarnya guru ini orang kaya. Siapa tahu aja mau membenahi lapangan…”

Lapangan sepakbola SMA 33 parahnya minta ampun. Letaknya tepat dibelakang sekolah. Rumput disana tumbuh dengan subur setinggi lutut. Tanahnya bergelombang dan kalau musim penghujan seperti sekarang, tempat itu bakal berubah jadi kolam lumpur. Cuma dibagian tengahnya saja yang bisa dipakai olahraga.

“Ya deh. Nanti saya ajak juga kesana.” Ucapku pada satpam. Kemudian Pak Satpam menunjukkan gejala yang sama dengan guru-guru lainnya. Dengan mata berkaca-kaca dia mengatakan sangat mengagumi pria ini. Aku jadi bertanya-tanya, siapa sih guru baru ini? Brad Pitt?

Karena merinding mendengar perkataan Pak Satpam, aku memutuskan untuk beranjak dari sana. Dengan sopan aku mengatakan kalau ada surat yang harus aku cek (sejak kapan aku jadi petugas TU?). Aku takut bakal tertular virus yang menjangkiti para guru SMA 33 dan Pak Satpam. Mungkin ada virus jenis baru.

Aku yakin waktu itu belum menghilang dari pandangan Pak Satpam ketika ada suara yang memanggilku.
“Bu Jian!!!” suara berat Pak Satpam meneriakkan namaku.
Aku menoleh. Saat itu aku melihat sudah ada seorang pria yang berdiri di dekat Pak Satpam. Dia jauh lebih tinggi dari Pak Satpam. Rambutnya agak panjang dan sepertinya berwarna agak kemerahan. Mau tahu satu hal lagi? Bau parfumnya sanggup memenuhi seluruh SMA 33. Duh, harum banget! Parfum yang dipakai pria itu mungkin tidak dijual disini. Di Bali maksudku.

Aku berjalan ke arah Pak Satpam dan laki-laki yang bersamanya itu. Anehnya, ketika aku mulai menapakkan kakiku, aku seolah-olah sedang mendekati Orlando Bloom. Dan saat aku sampai, aku seperti berhadapan dengan Song Il Gook atau Hyun Bin. Siapa orang ini?

“Ada apa ya, Pak?” tanyaku pada Pak Satpam. Entah kenapa pertanyaan itu kedengaran bodoh banget. Apa mungkin karena laki-laki asing itu? Ya, dia cukup keren sebenarnya! Atau sangat keren!!!
“Ini guru baru di sekolah kita!” ucap Pak Satpam. Apa aku harus bilang kalau Pak Satpam sangat kegirangan? Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Kalau saja dia bom atom, pasti sudah meledak dan menghancurkan SMA 33!

Segera kualihkan pandanganku ke pria yang dikatakan guru baru itu. Aku tersenyum dan tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu yang bergejolak di perutku. Aneh banget. Apakah ini adalah gejala awal tertular virus baru itu? Seperti ada ledakan-ledakan kecil di dadaku. Dan yang paling mengejutkan dari semua itu adalah aku merasa pernah bertemu si guru baru sebelumnya.

“Saya guru baru.” Kata laki-laki dihadapanku sambil tersenyum. “Nama saya Hayden…”
Waktu dia mengucapkan namanya, aku tidak langsung berpikir kalau si guru baru adalah Hayden Mahendra, si aktor terkenal. Aku hanya berpikir kalau nama si guru baru sama dengan nama seorang aktor. Barulah setelah dia melanjutkan kalimatnya aku menyadari fakta yang menggemparkan. Fakta yang sudah diketahui semua guru kecuali aku. Fakta yang membuat temanku berubah menjadi gila.
“Lengkapnya Hayden Mahendra…” lanjut pria itu.

@@@@

Oke, kenyataannya begini. Ada seorang pria dihadapanku. Aku merasa mengenal pria itu. Dia mengatakan kalau namanya adalah Hayden Mahendra. Jadi tidak ada yang salah. Wajar bila aku merasa mengenalnya – aku ingat pernah melihat fotonya di majalah Populis. Tapi entah kenapa aku merasa sedikit kecewa.

“Nama saya Jian…” kataku sambil mengulurkan tangan.
Hayden menyambut uluran tanganku. “Jian Satriani?!” katanya.
Aku mengangguk dan kemudian dia bilang kalau dia tahu tentang diriku dari kepala sekolah. Katanya, aku adalah orang yang pas untuk menjadi guide-nya. Dia tidak menyebutkan alasan tertentu tapi memintaku untuk membantunya. Sebab, dia sama sekali tidak punya pengalaman mengajar.

Hal pertama yang aku lakukan pagi itu adalah mengajaknya ke ruang guru. Menunjukkan pada sang guru baru meja yang kerjanya. Dia menyelaku dan bilang kalau dia sengaja meminta agar meja kerjanya berdampingan dengan meja kerjaku. Ini aneh. Wanita lain yang mendengar ucapan kayak gitu pasti bakal langsung meledak. Ya, dia kan aktor terkenal dan seksi itu. Tapi, aku merasa biasa saja mendengar semua itu. Aneh kan?!

Selanjutnya, aku mengajak Hayden Mahendra keliling melewati ruang-ruang kelas. Dan aku tahu, aku melakukan kesalahan. Beberapa guru yang menyadari kehadiran Hayden, menjadi kehilangan minat mengajar. Contohnya saja Mili. Aku benar-benar kecewa melihat responnya.

Mili sengaja meninggalkan siswanya yang sedang sibuk memperdebatkan sesuatu entah apa. Dia menyapaku dan Hayden. Lalu melirikku dengan tajam. Aku tahu apa yang dia inginkan.
“Oh ya, Hayden, ini Mili. Guru matematika.” Ucapku.
Dengan antusias Hayden menyapa dan berkata sangat senang bisa berkenalan dengan Mili, lalu menambahkan, “Mohon bantuannya. Saya tidak punya pengalaman mengajar!”

Mili jelas meledak. Karena tahu hal ini, aku segera mengajak Hayden pergi. Aku membawanya ke aula sekolah. Semakin lama bersama Hayden Mahendra, aku semakin leluasa. Dia seperti teman lama yang baru bertemu denganku lagi. Dia bisa mengimbangi semua perkataan dan ocehan-ocehan tidak jelasku. Mungkin itulah kelebihan para aktor – dapat berkomunikasi dengan segala jenis orang.

Setelah aula, aku menyeretnya ke lapangan basket SMA 33. Lapangan basket SMA 33 indoor. Dan merupakan salah satu yang paling bagus di kota Denpasar. Semua perlengkapan olahraga disimpan di ruangan yang letaknya berhadapan dengan gedung itu. Aku menunjukkannya pada Hayden.

“Mengajar bahasa Inggris jelas beda dengan mengajar olahraga.” Kataku sambil duduk di salah satu kursi penonton. “Tapi semuanya selalu dimulai dengan mengabsen. Guru olahraga yang sekarang bukan guru tetap. Jadi kesini hanya buat mengajar aja! Besok dia mungkin datang!”
Hayden mengangguk. “Bagaimana dengan materinya?”
“Nanti saya berikan. Buku panduannya ada di loker saya!”
“Oh ya, Jian sudah berapa lama mengajar disini?”
“Sekitar empat bulan. Saya juga guru baru.”
Hayden duduk disampingku dan dari sudut mataku, bisa kutangkap kalau dia sedang memandangku.
“Apa memang cita-citanya ingin jadi guru?” tanyanya.
Aku memandangnya. “Ya,” jawabku sambil tersenyum.

Berikutnya, aku mengajak Hayden kembali ke ruang guru sebab bel istirahat akan segera berdering dan aku tidak mau hal-hal yang aneh terjadi. Maksudku, siswi-siswi SMA 33 bisa berbuat gila bila tahu seorang Hayden Mahendra ada di sekolah mereka.

Sabtu, 17 April 2010

Tersesat

Anna menghilang. Dia menghilang entah kemana. Padahal tadi aku hanya pergi sebentar buat nganterin Yeni nyetor tugas Bahasa Indonesia.
“Anna kemana?” tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh teman-temanku yang memilih untuk tinggal di dalam kelas meski bel istirahat sudah berbunyi.
“Lagi rapat di ruang osis!” jawab Andika.
“Kok mendadak banget?” tanyaku lagi.
“Kalo yang itu aku gak tau!”
Aku kembali duduk di kursiku. Sebenarnya aku hanya ingin melanjutkan diskusi soal tugas matematika bersama Anna. Yah, otakku langsung keok kalo ketemu mata pelajaran yang satu itu.
“Lan, Yeni kemana?” tanya Ocha tiba-tiba padaku.
Hari ini Ocha cukup aneh. Aneh karena dia gak membuat kejutan lagi. Dia tampil standar: jepit rambut pink, kalung pink, anting pink, kaos kaki pink, gelang pink, cat kuku pink, tas pink… Sebuah tampilan yang sangat standar bagi Ocha.
“Yeni lagi dipanggil sama pembina jurnalistik,” jawabku.
“Emangnya kamu gak ikut?” tanya Ocha lagi.
“Nggak. Soalnya, mereka lagi ngecek adik kelas yang gabung di tim jurinalistik,” sahutku.
“Kok bisa-bisanya kamu gak diajak?”
Mau apa sih ni cewek?
“Yang ngurusin itu kan pemred sama wakilnya!”
“Memangnya posisi kamu apaan si disitu?”
“Aku kebagian tugas jadi reporter ples illustrator.” Jawabku.
“Hebat juga kamu. Oya, kalo si je-ka jadi apaan?”
“Aaahh… Paling-paling dia jadi bendahara!” ucap Echi yang merupakan sahabat kental Ocha. “Dia cocok banget di bagian yang itu.”
Kedua cewek ini selalu saja membuatku bingung. Sebelum lanjut, aku pengen menerangkan soal. Itu kepanjangan dari jenius kelas yaitu julukan yang secara permanen disematkan pada Ayu.
“Dia jadi wakil pemred di tim kita!” ucapku tersenyum pada kedua primadona itu.
“Ngomong-ngomong, pemred itu apa sih?” tanya Echi. Aku yakin pertanyaan itu didukung sama Ocha.
Secara universal, Ocha dan Echi adalah cewek populer di sekolahku. Mereka cantik, sudah pasti. Selain itu, mereka berdua kaya raya dan tahu trend. Nggak ketinggalan mereka juga pernah pacaran sama hampir semua cowok di sekolahku.
Aku rasa alasan yang terakhir inilah yang membuat mereka jadi sangat terkenal.
“Pemred itu singkatan dari pemimpin redaksi.” Aku memberi jawaban pada kedua cewek itu.
Hasilnya, Ocha dan Echi cuma mengangguk-angguk dan bero-o ria! Payah!!!
“O ya Lan, apa kamu nggak bosen ikut eskul jurnalistik?” tanya Ocah. “Secara, kan gak ada cowok yang ikut kegiatan itu. Aku aja bosen banget dengernya.”
Kalo elo bosen, ngapain loe nanya melulu! Tapi tentu saja aku hanya mengucapkan kalimat itu di kepalaku saja.
“Aku memang punya hobi di jurnalistik!” sahutku.
“Apa kamu gak suka nonton?” tanya Ocha.
“suka…”
“Kalo dugem?” Echi menambahkan.
“Kalo nanti aku ada keinginan buat dugem, ya aku dugem. Tapi sekarang lagi gak ada!” jawabku.
Hape Ocha bumyi. Dan invasi ke wilayahku pun dihentikan. Akhirnya!!!
@@@
Aku nggak pernah duduk berdua saja dengan Ayu sebelumnya. Biasanya kami bergerombol. Entah itu dengan Anna, Yeni atau yang lain. Kecuali Ocha dan Echi.
Hari ini aku merasakan keanehan yang luar biasa. Aku bisa merasakan bumi berputar pada porosnya. Mungkin besok dunia bakal kiamat.
“Ayu kok gak ikut ke ruang guru bareng Yeni?” tanyaku.
Cewek itu keluar dari bukunya sejenak. “nggak.”
Padahal pertanyaanku itu ada unsur “kenapa.”
Kemudian aku bilang permisi pada Ayu. Aku pergi ke kantin dan membeli apa saja buat mengganjal perutku. Aku yakin pertemuan jurnalistik kali ini pasti bakal berlangsung lama.
Saat aku kembali ke ruang madding, Ayu sudah menutup bukunya.
“Ayu mau kripik?” aku menawarkan.
“Nggak.”
“Banyak ya, anak-anak kelas sepuluh yang ikut jurnalistik?”
“Ya.”
“Kamu pasti udah ketemu sama mereka ya?”
“Ya.’
Mungkin aku harus menghilagkan kata “ya.”
“Katanya madding kita mau ikut lomba?” tanyaku.
“Ya.’
“Temanya apa sih?” tanyaku lagi. Yang jelas temanya bukan “ya.”
“Ha i ve eids.”
“Dimana sih lombanya?”
“Di es em a enam!”
Aku diam. Pertanyaanku sudah habis. Sekarang aku hanya berharap Ayu bakal menanyaiku. Bertanya apa saja bakal aku ladeni.
Tapi sampai teman-teman yang lain datang Ayu nggak mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya.
@@@
Mungkin populasi nyamuk sudah berkurang. Sejak sebulan yang lau, aku nggak pernah menyemprotkan baygon lagi di kamarku. Lau, kenapa populasi nyamuk berkurang? Bukankah populasi manusia terus bertambah? Dan bukankah itu berarti persediaan darah buat bangsa nyamuk juga bertambah?
Sayang, aku nggak duduk di kelas IPA. Tapi, apa anak-anak IPA tahu jawaban pertanyaanku ini? Mungkin nggak…
Discovery Channel malam ini:
Dua ekor ikan hiu yang bersahabat karib berenang mendekat ke pantai. Salah satu dari hiu itu sedang hamil. Produser Discovery Channel menampilkan gambar tiga dimensinya. Atau entah apa namanya. Yang jelas, sang narrator bilang ada empat puluh ekor anak hiu di dalam perut ikan pemangsa itu.
Sementara itu, di pinggir pantai puluhan anak burung sedang belajar terbang. Ada beberapa ekor anak burung yang nekat mengambangkan diri mereka lebih jauh dari pantai. Mereka sedang menunggu agar angina mengehembuskan mereka ke langit. Tapi, ada juga anak-anak lainnya yang hanya bengong melihat sekumpulan anak-anak pintar itu.
Hanya saja, angin yang ditunggu-tunggu nggak datang. Saat mereka semakin jauh dihanyutkan air laut, takdir pun berbicara. Para anak pintar harapan bangsa burung ditelan bulat-bulat sama hiu bunting dan sohibnya.
Ketika lautan sudah terlihat tenang dan angin berhembus lagi, barulah anak-anak burung yang tadi bengong mulai belajar terbang.
Iklan.
“Lan, besok pagi ambilin bunga lili-ku di rumah nenek ya?” kakakku tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Kenapa nggak diambil sendiri aja?” ucapku.
“Besok aku kan kerja!”
“Ambil pulang kerja aja.”
“Ntar bunganya layu!”
“Ya udah minta aja sama nenek jangan di petik dulu.”
“Besok kamu kan libur. Ambil sebentar kesitu kan nggak apa-apa!”
“Aku kepengen bangun siang.”
“Besok bangun pagi sebentar, trus sehabis ngambil bungaku kamu tidur lagi.”
“Mama nggak bakal ngijinin aku tidur lagi!”
“……………….”
Kakak perempuanku masih juga diam.
“Baiklah…”
Malam ini aku masih bisa merasakan bumi yang berotasi. Oh my God!!!
Dunia mungkin bakal benar-benar kiamat besok.
Aku musti gimana?
@@@

Kamis, 15 April 2010

Guru Idola – Chapter 2

Hayden Mahendra adalah aktor dan model yang prestasinya (kata Ina) sangat luar biasa. Katanya, dua tahun lalu dia bikin sensasi dengan kasus perceraiannya yang fantastis. Aku heran, waktu itu aku kemana saja sampai-sampai tidak menyadari berita seheboh itu. Dan bulan lalu, Ina bilang padaku kalau Hayden memilih menetap di Jepang setelah perceraiannya.


“Paling-paling lagi jalan-jalan ke luar negeri!” kataku pada Ina lalu menggigit kembali ayam gorengku. Ina adalah penggemar berat Hayden Mahendra. Meski, dia sering bilang bahwa dia bukanlah penggemar selebritis kayak Hayden.


Ada desas-desus kalau dia bakal menikah lagi!” Ina berhenti mengetik. Dengan cekatan dia lalu mengganti lagi di Winamp-nya. Dari rock n roll ke slow musik. Itu dia alasan kenapa ibu kost tidsak terlalu menyukai Ina. Soalnya dia suka banget mendengarkan lagu-lagu keras. Sampai-sampai, ibu kost tidak peduli pada fakta kalau Ina itu wartawan gossip. Padahal, yang aku tahu ibu kost adalah penggemar gossip nomer satu.

“Menikah sama siapa?” tanyaku.

“Sama Almondia.” Jawab Ina.

“Tadi kamu tanyain hal itu ke Almon?”

“Iya, tapi biasalah dia mengelak sambil senyam-senyum genit!”

“Kayaknya mereka cocok!” ucapku sambil membayangkan Almondia dan Hayden Mahendra, yang sudah aku lupakan wajahnya. “Almon model dan sebentar lagi bakal jadi aktris. Sedangkan Hayden model dan aktor!”

“Kalo sama Almondia nggak cocok!” teriak Ina.

“Cocoknya sama siapa?” Aku bangkit dan berjalan ke dapur.

“Sama siapa aja asal jangan Almondia!” Ina kembali berteriak.


@@@@


Mau tahu satu fakta? Ina adalah anak orang kaya. Ya, awalnya aku pikir dia sama seperti aku atau Mili. Pendapatku berubah setelah melihat sebuah mobil mewah parkir di depan tempat kost-ku.

Waktu itu adalah siang paling panas dalam sejarah kepengajaranku. Aku menyeret kaki-ku pulang ke tempat kost. Mili lebih beruntung karena hari itu dia tidak ada kelas.


Langkah terseok-seokku dihentikan oleh sebuah mobil. Aku pikir waktu itu salah seorang anak kost membawa pacarnya yang kaya atau Ina mungkin saja dikunjungi teman artisnya – jangan salah, Ina punya beberapa teman selebritis.


Akan tetapi, saat mendekati kamarku, aku melihat sepasang suami istri sedang duduk di teras depan. Kemudia aku melihat Ina membawakan minuman sambil tersenyum riang. Dia sedang melayani orang tuanya.

Ina bilang kalau ayah dan ibunya tidak pernah melarangnya untuk bekerja sebagai wartawan. Mereka memberikan kebebasan padanya untuk memilih. Terus terang, waktu itu aku jadi berpikir apa orang tuaku bakal seperti itu kalau mereka masih hidup?


Orang tuaku meninggal sewaktu aku masih kecil dan selama ini aku dibesarkan oleh kakek dan nenekku. Mereka sangat baik meski setelah lulus SMA mereka menyuruhku menikah. Tapi aku tahu, mereka melakukan itu karena sudah tidak punya pilihan lain. Sebab, aku punya adik laki-laki yang juga harus mereka tanggung sekolahnya. Sungguh sulit berada di posisi kakek dan nenekku.


@@@@


Dengan ceroboh Ina meletakkan camilan yang dibelinya di lantai. Makanan itu berserakan dan aku cukup kaget melihat wakahnya yang tegang.

“Apa benar SMA 33 mau dijual?” tanyanya padaku.

“Darimana denger berita kayak gitu?”

“Jian…”

“Nggaklah. SMA 33baik-baik aja kok!” kataku.

“Argh… Tadi aku dengar dari temanku katanya salah satu orang kaya asal Amrik mau membeli SMA-ku!”


Ina adalah alumni SMA 33 – ini juga yang membuat kami akrab. Rasa kecintaannya pada sekolah itu melebihi siapapun. Dari arsip-arsip lama SMA 33, aku tahu kalau Ina adalah salah satu siswa paling berprestasi di angkatannya. Waktu masih sekolah disana, dia aktif di banyak ekstra kulikuler. Prestasi paling menonjolnya adalah di ekskul jurnalistik.


“Semuanya baik-baik aja kok!” ucapku mencoba menenangkan Ina. “Bahkan kita akan kedatangan guru baru. Kamu tadi denger ceritaku kan?!”

“Ya,” ujar Ina. “Tapi tadi temanku itu kelihatannya yakin banget…”

“Siapa atau apa saja bisa kena gossip.”

“Aku nggak percaya aja kalau SMA 33 juga bisa kena gossip macam gitu!”

“Hei, tempat kerjaku itu prestasinya nggak kecil. Kami punya banyak siswa berbakat!”


Ina memandangku sejenak lalu mengingatkanku kalau letak SMA 33 sangat strategis. Dulu memang ada perusahaan yang ingin membeli sekolah itu karena ingin diubah menjadi kebun binatang (apa tidak salah?). Kata guru senior disana, waktu itu SMA 33 diselamatkan oleh dinas pendidikan dan persatuan orang tua siswa.


“Siapapun pasti pengen membangun usaha disana!” kata Ina dengan suara bergetar. “Kayaknya aku harus turun tangan!”

“Kamu mau ngapain?” tanyaku sambil memandang Ina dengan panik.

“Kamu harus bantu aku, Jian!”

“Memangnya aku bisa bantu apa?”

“Nanti aku kasi tahu!”


@@@@


Malam itu Mili menelponku. Bukan urusan gosiup penjualan SMA 33. Tapi dia bilang padaku kalau besok aku yang bakal bertugas membimbing si guru baru buat mengenal seluk-beluk sekolah.


“Bukannya kepala sekolah yang punya tugas!” protesku. Masalahnya, besok aku bakal datang siang soalnya aku baru mulai mengajar pada jam ke 4.

“Atasan sibuk. Ada keponakannya yang manikah!”

“Aduh, kenapa bikin susah aja sih!?”

“Terima aja! Hitung-hitung dapat kenalan baru!”

“Aaahhh… dia kayaknya nggak perlu dikasi tur deh. Suruh observasi sendiri aja!” kataku.

“Ini perintah atasan!”

“Oke, oke. Mil, udah denger belum gossip penjualan SMA 33?” tanyaku.

“Penjualan?” Mili diam sejenak. “Kenapa mau dijual?”

“Nggak tahu. Gosipnya kayak gitu!”

“Arah, gossip nggak jelas.


Setelah main tebak-tebakan tentang tampang dan penampilan si guru baru, Mili menutup telponnya. Sebelum tidur aku sempat mengintip Ina dari jendela kamarku. Dia masih terlihat sibuk dengan lapotopnya. Entah apa yang lagi dikerjakannya?!

Rabu, 07 April 2010

Guru Idola – Chapter 1

Kenapa aku berakhir menjadi seorang guru? Kenapa aku tidak ke luar negeri saja, kerja di kapal pesiar? Karena pilihan. Itu jawabnya. Nenek dan adikku memang menuntutku untuk kerja ke luar negeri. Biar kuceritakan.


Setelah tamat SMA, aku ngotot ingin melanjutkan studiku ke Universitas. Sementara, nenekku ingin agar aku menikah saja. Sebab, dia tidak punya uang buat membiayai kuliahku. Jadi waktu itu aku bilang saja padanya bahwa aku akan membiayai kuliahku sendiri. Dan nenek malah bilang kalau seusai kuliah aku harus mendapatkan pekerjaan yang bagus – kalau bisa kerja di luar negeri saja.


Tapi, setelah mendapatkan gelar sarjana, aku tidak terapung-apung di atas kapal mewah. Aku menjalankan pilihanku sendiri. Aku lebih memilih berteriak-teriak dihadapan sekelompok remaja yang, sudah sangat beruntung bila mereka mau mendengarkanmu. Aku memilih menjadi guru – impianku sejak kecil.


Karena flashback ke masa lalu itu, aku melewatkan pidato menyakitkan atasanku, kepala sekolah SMA 33. Tempatku mengajar sekarang bukanlah punya negara. Tapi, murid-murid disini sebagian besarnya bukan orang sembarangan. Nanti saja aku ceritakan.


“Karena itulah, saya memutuskan untuk menerimanya.” Ucap Kepala Sekolah berapi-api. Menerima apa? “Mulai besok dia akan mengajar. Jadi, sekali lagi saya minta pada bapak dan ibu guru sekalian untuk bersikap wajar agar dia merasa diterima!”


Aku sudah tertinggal terlalu jauh. Apa bakal ada guru baru? Siapa? Aku memandangi Mili. Dia adalah guru matematika. Mili dan aku sama-sama berstatus guru baru disini. Mili malah balas memandangiku lalu mengangkat sebelah alisnya. Artinya, aku harus bersabar sebab dia tidak mau bercerita sekarang.


“Rapat hari ini selesai.” Kata Kepala Sekolah. “Silahkan bapak dan ibu guru sekalian pulang ke rumah masing-masing…”


Aku rasa kepala sekolah memilih waktu rapat yang salah. Dia mengumpulkan kami, para guru, setelah siswa-siswa pulang. Jadi wajar saja kalau aku tidak berkonsentrasi mendengarkan ocehannya. Sebenarnya dia pria yang baik. Tapi, entah kenapa aku selalu merasa dia diliputi aura mistis. Bukan hanya kau yang bilang begitu. Mili juga.


“Bakal ada guru olahraga baru.” Ucap Mili datar. Dengan cepat dia membereskan buku-bukunya. Ketika pertama kali mengenalnya, aku cuma kenal namanya. Soalnya, nama Mili berdampingan dengan namaku di laman website SMA 33 yang menyatakan kalau kami diterima sebagai guru.


Selama berminggu-minggu sebelum mulai mengajar, aku menebak-nebak Mili itu orangnya seperti apa. Aku membayangkan kalau dia itu orangnya pendek, kurus, cerewet, banyak gaya, dan banyak tingkah. Tapi setelah bertemu dengannya secara langsung, aku tahu bahwa semua hal yang aku bayangkan sebelumnya sangat berlawanan dengan kenyataan. Kecuali satu fakta bahwa Mili lebih pendek dariku.


“Siapa namanya?” tanyaku pada Mili.

“Atasan nggak mau menyebutkan namanya!” jawabnya. “Dia hanya bilang guru baru ini orang penting!”

“Anggota DPR?”

“Entahlah. Yang jelas tadi waktu menceritakan guru baru ini, kepala sekolah sampai berkaca-kaca!”

“Berkaca-kaca?”

“Memangnya, tadi kamu lagi mikirin apa?”

“Ng… Nggak ada. Tadi aku kelaparan.”

“Walah, ayo cabut kalo gitu!”


@@@


Tempat kost-ku tidak terlalu jauh dari SMA 33. Kadang aku jalan kaki ke sekolah. Kadang-kadang aku lupa kalau global warming lagi mewabah.


Aku sama sekali tidak punya keluarga di kota Denpasar. Jadi, tiap bulan uangku harus habis buat bayar kost. Sementara Mili, lebih beruntung dariku. Dia punya paman yang bisa ditumpangi.


“Baru pulang, Jian?” tanya ibu kost-ku.

“Tadi ada rapat dadakan. Jadi pulang agal telat!” jawabku seadanya. Ibu kost tersenyum dan aku pun melanjutkan langkahku menuju kamarku.


Aku senang sekali bisa menemukan tempat kost ini. Semuanya teratur rapi disini. Blok A dan B adalah deretan kamar untuk penyewa pria. Sementara, Blok C dan D adalah untuk kaum-ku.


Di tambah sebuah fakta yaitu ibu kost yang sangat peduli padaku. Sebab, aku adalah guru SMA 33 dan ibu ingin sekali menyekolahkan anaknya disana. Masalahnya, sebagian besar siswa SMA 33 bukan remaja sembarangan. Mereka adalah anak-anak kaya. Sudah jelas, orang tua merekalah yang membuat tempat kerja-ku jadi indah dan guru-guru jadi betah mengajar karena penghasilan yang lumayan.


Tapi kadang-kadang, anak-anak kaya itu bikin aku sebal. Mereka suka sekali berbuat seenaknya. Ya, mungkin karena mereka tahu kalau orang tua mereka menggelontorkan dana yang tidak sedikit pada sekolah. Intinya, bu kost menyukaiku karena aku guru SMA 33. Beda sekali dengan teman yang kamarnya tepat disebelah kamarku.


Waktu aku akan membuka pintu kamarku, sayup-sayup telingaku menangkap lirik lagu yang sudah sangat aku kenal. B.Y.O.B. Lagu favorit tetanggaku.


“Ina, kenapa nggak kerja?!” teriakku di depan pintu kamar temanku itu.

Ina membuka pintu kamarnya. “Udah pulang. Tadi ada wawancara. Males balik ke kantor!” Wajah Ina nampak cerah. Berarti tidak ada apa-apa. Aku sempat melirik ke dalam kamarnya dan mendapati laptopnya lagi menyala. Dia sedang menulis

.

“Tapi kamu kok baru pulang sekarang?” tanya Ina padaku.

Ada rapat dadakan!” jawabku sambil menutup pintu kamarku. Aku meletakkan tasku, mengganti baju lalu keluar kamar. Ina kudapati sudah memboyong laptopnya ke luar kamarnya dan duduk di teras depan kamar kami.

“Rapat apaan?” Ina bertanya tanpa melihatku.

“Bakal ada guru baru…” Aku duduk disampingnya.

“Guru baru aja dirapatin!!”

“Ya gitu deh…”


Ina adalah wartawan. Bukan sembarang wartawan. Ina adalah wartawan gossip! Waktu pertama kali mengenalnya, aku kira dia itu wartawan investigasi yang sering menyelidiki kasus kematian! Aku lebih terheran-heran lagi waktu dengan bangga dia mengumumkan kalau Populis – majalah gossip tempat Ina mencari nafkah – adalah salah satu majalah gossip papan atas! Aku bukan tipe orang penyuka selebritis jadi aku manggut-manggut saja saat dia menriakkan informasi itu.


“Tadi wawancara siapa?” tanyaku pada Ina yang sedang sibuk mengetik.

“Almondia Prameswari…” jawab Ina.

Aku pernah mendengar nama itu. Ina yang menceritakannya padaku (siapa lagi?). katanya, Almondia – kenapa dia memilih nama itu – adalah salah satu model yang paling sering membuat sensasi. Dia pernah tertangkap kamera lagi jalan bareng sama Josh Groban di Pantai Kuta. Tidak hanya itu, Almondia juga terkenal karena sering menggoda aktor yang sudah punya pasangan.

“Memangnya Almon bikin sensasi apa lagi?” tanyaku. Aku lebih suka memanggil wanita itu ‘Almon’.

“Almondia terjun ke dunia akting. Katanya sih, bakal main bareng Nicolas Saputra…”

“Filmnya tentang apa?”

“Nggak jelas. Tunggu aja!”


Kemudian aku bangkit dan pergi ke dapur, yang letaknya di bagian belakang kamarku. Aku jadi lupa makan siang karena mengira ada hal aneh yang terjadi pada Ina. Aku memutuskan untuk makan di teras depan sambil menemani Ina yang sedang mengetik.



“Udah makan, Na?” tanyaku lalu menyuap sesendok nasi.

“Udah…” Ina masih saja serius di depan laptopnya. “Oh ya, Hayden Mahendra kabarnya nggak ada di Jepang…”

Aku berhenti menggigit ayam goreng-ku.

Template by:

Free Blog Templates