Mili berani bertaruh kalau guru olahraga yang baru itu pasti sudah tua. Alasannya, dia tidak perlu mengikuti tes masuk. Pangalamannya mengajar pasti sudah tidak diragukan lagi. Mili juga menambahkan kalau si guru baru seperti badut – gendut, buncit, dan sejenisnya.
Menurutku perkiraannya sedikit kejam. Kalau aku, aku membayangkan jika si guru baru masih muda – dua atau tiga tahun lebih tua dari aku dan Mili. Dia mungkin sudah pernah mengajar di tempat lain jadi sama sekali tidak perlu mengikuti tes masuk. Dan karena dia guru olahraga, bodinya pasti perfect – atletis!
Tapi pagi itu kepala Mili pasti terbentur atau kejatuhan meteor. Dia datang sangat pagi. Tersenyum lebar padaku dan bahkan menawarkan diri untuk menjadi guide si guru baru. Inilah untuk pertama kalinya aku melihat Mili bersikap seperti itu. Dia menjadi Mili yang itu. Mili yang centil, cerewet, banyak gaya, dan banyak tingkah. Pokoknya dia adalah Mili yang aku bayangkan sebelum bertemu dengannya dulu. Dan waktu aku menoleh ke seluruh ruang guru, pemandangan yang sama tersaji dihadapanku.
“Kalo kamu nggak mau menjadi pemandu si guru baru, aku mau kok!” Mili menawarkan sambil tersenyum.
Aku mengerjap-ngerjap. “Nggak akan aku biarin kamu yang jadi pemandunya. Aku sudah capek-capek bangun pagi hari ini!” Kataku.
“Katanya kemarin nggak mau?”
“Kamu kenapa sih, Mil?”
“Nggak kenapa-napa! Oh ya, jangan kasih tahu si guru baru perkataannku yang tadi malam itu, ya?”
“Yang mana?”
“Yang tebak-tebakan itu!”
“Jelas nggak bakal aku kasih tahu. Aku kan bukan ember!”
Kemudian Bu Ayu menyela obrolan kami. Berkali-kali dia berkata kalau aku sangat beruntung. Bahkan, dia menggoyang-goyangkan tanganku. Sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang Bu Ayu sebelumnya, sejak aku mulai mengajar di SMA 33.
Kemudian dia mengatakan sesuatu yang menurutku aneh. Bu Ayu, guru Bahasa Indonesia yang paling aku kagumi, memintaku untuk mengenalkan dirinya pada si guru baru. Yang lebih aneh lagi, semua guru juga meminta hal yang sama!
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Semua guru bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya. Sebelum masuk ke dalam kelas, mereka sekali lagi mengingatkanku agar tidak lupa mengenalkan si guru baru. Aha! Dasar orang-orang aneh. Dan aku tidak percaya bahwa Mili ada didalamnya!
@@@@
Karena sudah capek menunggu di ruang guru, aku memutuskan untuk keluar jalan-jalan. Aku pergi ke gerbang depan, mengobrol sebentar dengan satpam sekolah.
“Dapat tugas tambahan, Bu?” tanya Pak Satpam.
“Iya, disuruh memandu guru baru keliling sekolah.”
“Jangan lupa ajak ke lapangan sepak bola. Kabarnya guru ini orang kaya. Siapa tahu aja mau membenahi lapangan…”
Lapangan sepakbola SMA 33 parahnya minta ampun. Letaknya tepat dibelakang sekolah. Rumput disana tumbuh dengan subur setinggi lutut. Tanahnya bergelombang dan kalau musim penghujan seperti sekarang, tempat itu bakal berubah jadi kolam lumpur. Cuma dibagian tengahnya saja yang bisa dipakai olahraga.
“Ya deh. Nanti saya ajak juga kesana.” Ucapku pada satpam. Kemudian Pak Satpam menunjukkan gejala yang sama dengan guru-guru lainnya. Dengan mata berkaca-kaca dia mengatakan sangat mengagumi pria ini. Aku jadi bertanya-tanya, siapa sih guru baru ini? Brad Pitt?
Karena merinding mendengar perkataan Pak Satpam, aku memutuskan untuk beranjak dari sana. Dengan sopan aku mengatakan kalau ada surat yang harus aku cek (sejak kapan aku jadi petugas TU?). Aku takut bakal tertular virus yang menjangkiti para guru SMA 33 dan Pak Satpam. Mungkin ada virus jenis baru.
Aku yakin waktu itu belum menghilang dari pandangan Pak Satpam ketika ada suara yang memanggilku.
“Bu Jian!!!” suara berat Pak Satpam meneriakkan namaku.
Aku menoleh. Saat itu aku melihat sudah ada seorang pria yang berdiri di dekat Pak Satpam. Dia jauh lebih tinggi dari Pak Satpam. Rambutnya agak panjang dan sepertinya berwarna agak kemerahan. Mau tahu satu hal lagi? Bau parfumnya sanggup memenuhi seluruh SMA 33. Duh, harum banget! Parfum yang dipakai pria itu mungkin tidak dijual disini. Di Bali maksudku.
Aku berjalan ke arah Pak Satpam dan laki-laki yang bersamanya itu. Anehnya, ketika aku mulai menapakkan kakiku, aku seolah-olah sedang mendekati Orlando Bloom. Dan saat aku sampai, aku seperti berhadapan dengan Song Il Gook atau Hyun Bin. Siapa orang ini?
“Ada apa ya, Pak?” tanyaku pada Pak Satpam. Entah kenapa pertanyaan itu kedengaran bodoh banget. Apa mungkin karena laki-laki asing itu? Ya, dia cukup keren sebenarnya! Atau sangat keren!!!
“Ini guru baru di sekolah kita!” ucap Pak Satpam. Apa aku harus bilang kalau Pak Satpam sangat kegirangan? Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Kalau saja dia bom atom, pasti sudah meledak dan menghancurkan SMA 33!
Segera kualihkan pandanganku ke pria yang dikatakan guru baru itu. Aku tersenyum dan tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu yang bergejolak di perutku. Aneh banget. Apakah ini adalah gejala awal tertular virus baru itu? Seperti ada ledakan-ledakan kecil di dadaku. Dan yang paling mengejutkan dari semua itu adalah aku merasa pernah bertemu si guru baru sebelumnya.
“Saya guru baru.” Kata laki-laki dihadapanku sambil tersenyum. “Nama saya Hayden…”
Waktu dia mengucapkan namanya, aku tidak langsung berpikir kalau si guru baru adalah Hayden Mahendra, si aktor terkenal. Aku hanya berpikir kalau nama si guru baru sama dengan nama seorang aktor. Barulah setelah dia melanjutkan kalimatnya aku menyadari fakta yang menggemparkan. Fakta yang sudah diketahui semua guru kecuali aku. Fakta yang membuat temanku berubah menjadi gila.
“Lengkapnya Hayden Mahendra…” lanjut pria itu.
@@@@
Oke, kenyataannya begini. Ada seorang pria dihadapanku. Aku merasa mengenal pria itu. Dia mengatakan kalau namanya adalah Hayden Mahendra. Jadi tidak ada yang salah. Wajar bila aku merasa mengenalnya – aku ingat pernah melihat fotonya di majalah Populis. Tapi entah kenapa aku merasa sedikit kecewa.
“Nama saya Jian…” kataku sambil mengulurkan tangan.
Hayden menyambut uluran tanganku. “Jian Satriani?!” katanya.
Aku mengangguk dan kemudian dia bilang kalau dia tahu tentang diriku dari kepala sekolah. Katanya, aku adalah orang yang pas untuk menjadi guide-nya. Dia tidak menyebutkan alasan tertentu tapi memintaku untuk membantunya. Sebab, dia sama sekali tidak punya pengalaman mengajar.
Hal pertama yang aku lakukan pagi itu adalah mengajaknya ke ruang guru. Menunjukkan pada sang guru baru meja yang kerjanya. Dia menyelaku dan bilang kalau dia sengaja meminta agar meja kerjanya berdampingan dengan meja kerjaku. Ini aneh. Wanita lain yang mendengar ucapan kayak gitu pasti bakal langsung meledak. Ya, dia kan aktor terkenal dan seksi itu. Tapi, aku merasa biasa saja mendengar semua itu. Aneh kan?!
Selanjutnya, aku mengajak Hayden Mahendra keliling melewati ruang-ruang kelas. Dan aku tahu, aku melakukan kesalahan. Beberapa guru yang menyadari kehadiran Hayden, menjadi kehilangan minat mengajar. Contohnya saja Mili. Aku benar-benar kecewa melihat responnya.
Mili sengaja meninggalkan siswanya yang sedang sibuk memperdebatkan sesuatu entah apa. Dia menyapaku dan Hayden. Lalu melirikku dengan tajam. Aku tahu apa yang dia inginkan.
“Oh ya, Hayden, ini Mili. Guru matematika.” Ucapku.
Dengan antusias Hayden menyapa dan berkata sangat senang bisa berkenalan dengan Mili, lalu menambahkan, “Mohon bantuannya. Saya tidak punya pengalaman mengajar!”
Mili jelas meledak. Karena tahu hal ini, aku segera mengajak Hayden pergi. Aku membawanya ke aula sekolah. Semakin lama bersama Hayden Mahendra, aku semakin leluasa. Dia seperti teman lama yang baru bertemu denganku lagi. Dia bisa mengimbangi semua perkataan dan ocehan-ocehan tidak jelasku. Mungkin itulah kelebihan para aktor – dapat berkomunikasi dengan segala jenis orang.
Setelah aula, aku menyeretnya ke lapangan basket SMA 33. Lapangan basket SMA 33 indoor. Dan merupakan salah satu yang paling bagus di kota Denpasar. Semua perlengkapan olahraga disimpan di ruangan yang letaknya berhadapan dengan gedung itu. Aku menunjukkannya pada Hayden.
“Mengajar bahasa Inggris jelas beda dengan mengajar olahraga.” Kataku sambil duduk di salah satu kursi penonton. “Tapi semuanya selalu dimulai dengan mengabsen. Guru olahraga yang sekarang bukan guru tetap. Jadi kesini hanya buat mengajar aja! Besok dia mungkin datang!”
Hayden mengangguk. “Bagaimana dengan materinya?”
“Nanti saya berikan. Buku panduannya ada di loker saya!”
“Oh ya, Jian sudah berapa lama mengajar disini?”
“Sekitar empat bulan. Saya juga guru baru.”
Hayden duduk disampingku dan dari sudut mataku, bisa kutangkap kalau dia sedang memandangku.
“Apa memang cita-citanya ingin jadi guru?” tanyanya.
Aku memandangnya. “Ya,” jawabku sambil tersenyum.
Berikutnya, aku mengajak Hayden kembali ke ruang guru sebab bel istirahat akan segera berdering dan aku tidak mau hal-hal yang aneh terjadi. Maksudku, siswi-siswi SMA 33 bisa berbuat gila bila tahu seorang Hayden Mahendra ada di sekolah mereka.
0 komentar:
Posting Komentar