Hayden Mahendra adalah aktor dan model yang prestasinya (kata Ina) sangat luar biasa. Katanya, dua tahun lalu dia bikin sensasi dengan kasus perceraiannya yang fantastis. Aku heran, waktu itu aku kemana saja sampai-sampai tidak menyadari berita seheboh itu. Dan bulan lalu, Ina bilang padaku kalau Hayden memilih menetap di Jepang setelah perceraiannya.
“Paling-paling lagi jalan-jalan ke luar negeri!” kataku pada Ina lalu menggigit kembali ayam gorengku. Ina adalah penggemar berat Hayden Mahendra. Meski, dia sering bilang bahwa dia bukanlah penggemar selebritis kayak Hayden.
“
“Menikah sama siapa?” tanyaku.
“Sama Almondia.” Jawab Ina.
“Tadi kamu tanyain hal itu ke Almon?”
“Iya, tapi biasalah dia mengelak sambil senyam-senyum genit!”
“Kayaknya mereka cocok!” ucapku sambil membayangkan Almondia dan Hayden Mahendra, yang sudah aku lupakan wajahnya. “Almon model dan sebentar lagi bakal jadi aktris. Sedangkan Hayden model dan aktor!”
“Kalo sama Almondia nggak cocok!” teriak Ina.
“Cocoknya sama siapa?” Aku bangkit dan berjalan ke dapur.
“Sama siapa aja asal jangan Almondia!” Ina kembali berteriak.
@@@@
Mau tahu satu fakta? Ina adalah anak orang kaya. Ya, awalnya aku pikir dia sama seperti aku atau Mili. Pendapatku berubah setelah melihat sebuah mobil mewah parkir di depan tempat kost-ku.
Waktu itu adalah siang paling panas dalam sejarah kepengajaranku. Aku menyeret kaki-ku pulang ke tempat kost. Mili lebih beruntung karena hari itu dia tidak ada kelas.
Langkah terseok-seokku dihentikan oleh sebuah mobil. Aku pikir waktu itu salah seorang anak kost membawa pacarnya yang kaya atau Ina mungkin saja dikunjungi teman artisnya – jangan salah, Ina punya beberapa teman selebritis.
Akan tetapi, saat mendekati kamarku, aku melihat sepasang suami istri sedang duduk di teras depan. Kemudia aku melihat Ina membawakan minuman sambil tersenyum riang. Dia sedang melayani orang tuanya.
Ina bilang kalau ayah dan ibunya tidak pernah melarangnya untuk bekerja sebagai wartawan. Mereka memberikan kebebasan padanya untuk memilih. Terus terang, waktu itu aku jadi berpikir apa orang tuaku bakal seperti itu kalau mereka masih hidup?
Orang tuaku meninggal sewaktu aku masih kecil dan selama ini aku dibesarkan oleh kakek dan nenekku. Mereka sangat baik meski setelah lulus SMA mereka menyuruhku menikah. Tapi aku tahu, mereka melakukan itu karena sudah tidak punya pilihan lain. Sebab, aku punya adik laki-laki yang juga harus mereka tanggung sekolahnya. Sungguh sulit berada di posisi kakek dan nenekku.
@@@@
Dengan ceroboh Ina meletakkan camilan yang dibelinya di lantai. Makanan itu berserakan dan aku cukup kaget melihat wakahnya yang tegang.
“Apa benar SMA 33 mau dijual?” tanyanya padaku.
“Darimana denger berita kayak gitu?”
“Jian…”
“Nggaklah. SMA 33baik-baik aja kok!” kataku.
“Argh… Tadi aku dengar dari temanku katanya salah satu orang kaya asal Amrik mau membeli SMA-ku!”
Ina adalah alumni SMA 33 – ini juga yang membuat kami akrab. Rasa kecintaannya pada sekolah itu melebihi siapapun. Dari arsip-arsip lama SMA 33, aku tahu kalau Ina adalah salah satu siswa paling berprestasi di angkatannya. Waktu masih sekolah disana, dia aktif di banyak ekstra kulikuler. Prestasi paling menonjolnya adalah di ekskul jurnalistik.
“Semuanya baik-baik aja kok!” ucapku mencoba menenangkan Ina. “Bahkan kita akan kedatangan guru baru. Kamu tadi denger ceritaku
“Ya,” ujar Ina. “Tapi tadi temanku itu kelihatannya yakin banget…”
“Siapa atau apa saja bisa kena gossip.”
“Aku nggak percaya aja kalau SMA 33 juga bisa kena gossip macam gitu!”
“Hei, tempat kerjaku itu prestasinya nggak kecil. Kami punya banyak siswa berbakat!”
Ina memandangku sejenak lalu mengingatkanku kalau letak SMA 33 sangat strategis. Dulu memang ada perusahaan yang ingin membeli sekolah itu karena ingin diubah menjadi kebun binatang (apa tidak salah?). Kata guru senior disana, waktu itu SMA 33 diselamatkan oleh dinas pendidikan dan persatuan orang tua siswa.
“Siapapun pasti pengen membangun usaha disana!” kata Ina dengan suara bergetar. “Kayaknya aku harus turun tangan!”
“Kamu mau ngapain?” tanyaku sambil memandang Ina dengan panik.
“Kamu harus bantu aku, Jian!”
“Memangnya aku bisa bantu apa?”
“Nanti aku kasi tahu!”
@@@@
Malam itu Mili menelponku. Bukan urusan gosiup penjualan SMA 33. Tapi dia bilang padaku kalau besok aku yang bakal bertugas membimbing si guru baru buat mengenal seluk-beluk sekolah.
“Bukannya kepala sekolah yang punya tugas!” protesku. Masalahnya, besok aku bakal datang siang soalnya aku baru mulai mengajar pada jam ke 4.
“Atasan sibuk.
“Aduh, kenapa bikin susah aja sih!?”
“Terima aja! Hitung-hitung dapat kenalan baru!”
“Aaahhh… dia kayaknya nggak perlu dikasi tur deh. Suruh observasi sendiri aja!” kataku.
“Ini perintah atasan!”
“Oke, oke. Mil, udah denger belum gossip penjualan SMA 33?” tanyaku.
“Penjualan?” Mili diam sejenak. “Kenapa mau dijual?”
“Nggak tahu. Gosipnya kayak gitu!”
“Arah, gossip nggak jelas.
Setelah main tebak-tebakan tentang tampang dan penampilan si guru baru, Mili menutup telponnya. Sebelum tidur aku sempat mengintip Ina dari jendela kamarku. Dia masih terlihat sibuk dengan lapotopnya. Entah apa yang lagi dikerjakannya?!
0 komentar:
Posting Komentar