Kenapa aku berakhir menjadi seorang guru? Kenapa aku tidak ke luar negeri saja, kerja di kapal pesiar? Karena pilihan. Itu jawabnya. Nenek dan adikku memang menuntutku untuk kerja ke luar negeri. Biar kuceritakan.
Setelah tamat SMA, aku ngotot ingin melanjutkan studiku ke Universitas. Sementara, nenekku ingin agar aku menikah saja. Sebab, dia tidak punya uang buat membiayai kuliahku. Jadi waktu itu aku bilang saja padanya bahwa aku akan membiayai kuliahku sendiri. Dan nenek malah bilang kalau seusai kuliah aku harus mendapatkan pekerjaan yang bagus – kalau bisa kerja di luar negeri saja.
Tapi, setelah mendapatkan gelar sarjana, aku tidak terapung-apung di atas kapal mewah. Aku menjalankan pilihanku sendiri. Aku lebih memilih berteriak-teriak dihadapan sekelompok remaja yang, sudah sangat beruntung bila mereka mau mendengarkanmu. Aku memilih menjadi guru – impianku sejak kecil.
Karena flashback ke masa lalu itu, aku melewatkan pidato menyakitkan atasanku, kepala sekolah SMA 33. Tempatku mengajar sekarang bukanlah punya negara. Tapi, murid-murid disini sebagian besarnya bukan orang sembarangan. Nanti saja aku ceritakan.
“Karena itulah, saya memutuskan untuk menerimanya.” Ucap Kepala Sekolah berapi-api. Menerima apa? “Mulai besok dia akan mengajar. Jadi, sekali lagi saya minta pada bapak dan ibu guru sekalian untuk bersikap wajar agar dia merasa diterima!”
Aku sudah tertinggal terlalu jauh. Apa bakal ada guru baru? Siapa? Aku memandangi Mili. Dia adalah guru matematika. Mili dan aku sama-sama berstatus guru baru disini. Mili malah balas memandangiku lalu mengangkat sebelah alisnya. Artinya, aku harus bersabar sebab dia tidak mau bercerita sekarang.
“Rapat hari ini selesai.” Kata Kepala Sekolah. “Silahkan bapak dan ibu guru sekalian pulang ke rumah masing-masing…”
Aku rasa kepala sekolah memilih waktu rapat yang salah. Dia mengumpulkan kami, para guru, setelah siswa-siswa pulang. Jadi wajar saja kalau aku tidak berkonsentrasi mendengarkan ocehannya. Sebenarnya dia pria yang baik. Tapi, entah kenapa aku selalu merasa dia diliputi aura mistis. Bukan hanya kau yang bilang begitu. Mili juga.
“Bakal ada guru olahraga baru.” Ucap Mili datar. Dengan cepat dia membereskan buku-bukunya. Ketika pertama kali mengenalnya, aku cuma kenal namanya. Soalnya, nama Mili berdampingan dengan namaku di laman website SMA 33 yang menyatakan kalau kami diterima sebagai guru.
Selama berminggu-minggu sebelum mulai mengajar, aku menebak-nebak Mili itu orangnya seperti apa. Aku membayangkan kalau dia itu orangnya pendek, kurus, cerewet, banyak
“Siapa namanya?” tanyaku pada Mili.
“Atasan nggak mau menyebutkan namanya!” jawabnya. “Dia hanya bilang guru baru ini orang penting!”
“Anggota DPR?”
“Entahlah. Yang jelas tadi waktu menceritakan guru baru ini, kepala sekolah sampai berkaca-kaca!”
“Berkaca-kaca?”
“Memangnya, tadi kamu lagi mikirin apa?”
“Ng… Nggak ada. Tadi aku kelaparan.”
“Walah, ayo cabut kalo gitu!”
@@@
Tempat kost-ku tidak terlalu jauh dari SMA 33. Kadang aku jalan kaki ke sekolah. Kadang-kadang aku lupa kalau global warming lagi mewabah.
Aku sama sekali tidak punya keluarga di
“Baru pulang, Jian?” tanya ibu kost-ku.
“Tadi ada rapat dadakan. Jadi pulang agal telat!” jawabku seadanya. Ibu kost tersenyum dan aku pun melanjutkan langkahku menuju kamarku.
Aku senang sekali bisa menemukan tempat kost ini. Semuanya teratur rapi disini. Blok A dan B adalah deretan kamar untuk penyewa pria. Sementara, Blok C dan D adalah untuk kaum-ku.
Di tambah sebuah fakta yaitu ibu kost yang sangat peduli padaku. Sebab, aku adalah guru SMA 33 dan ibu ingin sekali menyekolahkan anaknya disana. Masalahnya, sebagian besar siswa SMA 33 bukan remaja sembarangan. Mereka adalah anak-anak kaya. Sudah jelas, orang tua merekalah yang membuat tempat kerja-ku jadi indah dan guru-guru jadi betah mengajar karena penghasilan yang lumayan.
Tapi kadang-kadang, anak-anak kaya itu bikin aku sebal. Mereka suka sekali berbuat seenaknya. Ya, mungkin karena mereka tahu kalau orang tua mereka menggelontorkan dana yang tidak sedikit pada sekolah. Intinya, bu kost menyukaiku karena aku guru SMA 33. Beda sekali dengan teman yang kamarnya tepat disebelah kamarku.
Waktu aku akan membuka pintu kamarku, sayup-sayup telingaku menangkap lirik lagu yang sudah sangat aku kenal. B.Y.O.B. Lagu favorit tetanggaku.
“Ina, kenapa nggak kerja?!” teriakku di depan pintu kamar temanku itu.
Ina membuka pintu kamarnya. “Udah pulang. Tadi ada wawancara. Males balik ke kantor!” Wajah Ina nampak cerah. Berarti tidak ada apa-apa. Aku sempat melirik ke dalam kamarnya dan mendapati laptopnya lagi menyala. Dia sedang menulis
.
“Tapi kamu kok baru pulang sekarang?” tanya Ina padaku.
“
“Rapat apaan?” Ina bertanya tanpa melihatku.
“Bakal ada guru baru…” Aku duduk disampingnya.
“Guru baru aja dirapatin!!”
“Ya gitu deh…”
Ina adalah wartawan. Bukan sembarang wartawan. Ina adalah wartawan gossip! Waktu pertama kali mengenalnya, aku kira dia itu wartawan investigasi yang sering menyelidiki kasus kematian! Aku lebih terheran-heran lagi waktu dengan bangga dia mengumumkan kalau Populis – majalah gossip tempat Ina mencari nafkah – adalah salah satu majalah gossip papan atas! Aku bukan tipe orang penyuka selebritis jadi aku manggut-manggut saja saat dia menriakkan informasi itu.
“Tadi wawancara siapa?” tanyaku pada Ina yang sedang sibuk mengetik.
“Almondia Prameswari…” jawab Ina.
Aku pernah mendengar nama itu. Ina yang menceritakannya padaku (siapa lagi?). katanya, Almondia – kenapa dia memilih nama itu – adalah salah satu model yang paling sering membuat sensasi. Dia pernah tertangkap kamera lagi jalan bareng sama Josh Groban di Pantai Kuta. Tidak hanya itu, Almondia juga terkenal karena sering menggoda aktor yang sudah punya pasangan.
“Memangnya Almon bikin sensasi apa lagi?” tanyaku. Aku lebih suka memanggil wanita itu ‘Almon’.
“Almondia terjun ke dunia akting. Katanya sih, bakal main bareng Nicolas Saputra…”
“Filmnya tentang apa?”
“Nggak jelas. Tunggu aja!”
Kemudian aku bangkit dan pergi ke dapur, yang letaknya di bagian belakang kamarku. Aku jadi lupa makan siang karena mengira ada hal aneh yang terjadi pada Ina. Aku memutuskan untuk makan di teras depan sambil menemani Ina yang sedang mengetik.
“Udah makan, Na?” tanyaku lalu menyuap sesendok nasi.
“Udah…” Ina masih saja serius di depan laptopnya. “Oh ya, Hayden Mahendra kabarnya nggak ada di Jepang…”
Aku berhenti menggigit ayam goreng-ku.
0 komentar:
Posting Komentar