Bu Ayu akhirnya keluar juga. Aku seharusnya senang sebab aku bisa mengerjakan tugas yang dia berikan sambil mengobrol dengan teman-temanku. Tapi faktanya, aku sama sekali tidak bisa tenang. Aku malah sangat khawatir.
“Kenapa bengong, Lun?” tanya Bela, teman sebangku-ku.
Aku menggeleng. Dan tahu nggak? Dialah yang membuatku khawatir. Di saat kelas kosong tanpa guru, teman-temanku yang lain pasti akan mulai mengejek Bela. Mereka suka sekali mengatakan kalau orang tua Bela pasti mabuk berat waktu memberinya nama. Soalnya, mereka memberi nama putri cantik mereka ‘Hutan Belantara.’
Selama ini Bela memang terlihat tenang-tenang saja. Dia sama sekali tidak peduli pada apapun yang dikatakan orang lain. Seolah-olah mereka semua hanyalah serangga kecil yang tidak perlu dihiraukan. Tapi aku takut kalau suatu saat Bela tidak akan tahan. Kesabaran ada batasnya.
“Masih bengong aja?!” ucap Bela lagi.
Aku memandanginya. “Masih mikir!” kataku.
“Perlu aku bantuin?”
“Nggak, Bel. Aku usaha sendiri dulu.”
Bela kembali menekuni tugasnya. Sedangkan, aku kembali berpikir sambil menantikan kicauan kejam teman-teman yang lain.
“Tan, ortu-mu udah siuman belum?”
Nah, perang tidak seimbang pun dimulai. Itu Poppy yang berkicau. Dia adalah cewek tercantik di kelas X.4 ini. Atau paling tidak, dia menggangap dirinya seperti itu.
Hanya saja, menurutku Bela jauh lebih cantik. Mungkin Poppy sadar hal ini makanya dia jadi yang paling getol mengejek Bela. Tentu saja, agar Bela punya kesan jelek jadi dia bisa terus berjaya sebagai yang tercantik.
“Kasi aja kopi, Tan.” Lanjut Poppy lagi. “Biasanya, kalo dikasi kopi, orang mabuk cepet sadar!”
Poppy tertawa dan tawa ini tentu saja diikuti oleh yang lain. Aku melirik Bela, mencoba meneliti wajahnya apakah dia akan meledak atau tidak. Tapi Bela masih tetap tenang. Dia masih berkonsentrasi pada soal matematika yang sedang dikerjakannya. Kenapa dia begitu tenang, ya?!
“Tan, apa kamu nggak pengen ganti nama?” tanya Windy. Dia adalah sahabat kental Poppy dan dia selalu melakukan apapun yang Poppy lakukan.
“Jangan-jangan dulu ortu-mu nggak hanya mabuk pas ngasi kamu nama. Tapi kamu memang dilahirkan di tengah hutan belantara!” kata Poppy yang diikuti oleh tawa yang lainnya.
Bela berhenti menulis. Dia meletakkan pulpennya dengan hati-hati lalu berbalik ke arah Poppy dan Windy.
“Pop, ortu-ku nggak mabuk kok dan mereka sangat waras.” Ucap Bela. “Dan aku nggak pengen ganti nama. Menurutku, nggak ada yang aneh dengan namaku…”
Aku melihat ekspresi wajah Poppy dan Windy. Mereka terlihat tidak senang – kesal lebih tepatnya, pada ucapan Bela. Aku tahu, Bela pasti memasang wajah tegar-nya. Sama seperti biasanya.
@@@@
Aku dan Bela sedang duduk di perpustakaan. Aku sengaja mengajak Bela ke tempat ini untuk menghindari Poppy dan konco-konconya. Mereka sangat berbahaya dan sanggup menghancurkan orang dengan sekali pandang saja.
Tadi kami berada di kantin. Namun, ketika mendengar suara kedatangan poppy and the gang aku langsung mengajak Bela kabur. Kalau mau jujur, Bela pasti tidak mau kabur. Dia akan lebih memilih tinggal di kantin dan melanjutkan menguyah camilannya.
“Memangnya mau cari buku apa?” tanya Bela padaku.
Itulah alasan yang aku pakai untuk menyeret Bela ke perpustakaan.
“Novel. Katanya perpus dapat sumbangan banyak novel remaja dari alumni!” jawabku. Tapi ini jawaban yang jujur, lho.
Bela ikut memilah novel di salah satu rak buku di belakangku. Sebenarnya, ada banyak alasan kenapa aku lebih memilih untuk menghindari Poppy cs. Yang pertama tentu aku tidak ingin melihat temanku sakit hati. Meski secara teknis hal itu belum aku temui dalam diri Bela. Yang kedua, aku takut ejekan itu akan menular padaku. Aku tidak mau kena ejek mereka. Bagaimana kalau mereka juga mengatakan kalau ortu-ku mabuk pas memberiku nama?
Soalnya, nama Luna tidak cocok denganku. Aku tidak cantik seperti bulan. Kalau sudah begitu, aku tahu aku akan mati. Aku mungkin akan pindah sekolah. Tidak, tidak hanya itu. Setelah pindah sekolah, aku juga akan ganti nama!
“Ada Radit!” ucap Bela bersemangat. Radit adalah cowok yang dia sukai. Tapi, apakah Radit juga menyukai Bela, aku tidak tahu. Radit sangat sulit ditebak.
“Mana?” tanyaku pada Bela.
“Itu. Di dekat ruang referensi.”
Aku melayangkan pandanganku ke tempat yang dimaksud. Dan disanalah Radit. Dia tidak sendiri. Dia bersama beberapa orang temannya. Tidak, rasanya lebih tepat bila aku menyebutnya atasan. Sebab, kadang aku melihat mereka memperlakukan Radit seperti babu. Dan teman-teman Radit itu juga tidak aku sukai. Mereka juga senang sekali mengatai Bela.
“Aku mau kesana!” kata Bela mantap.
“Ngapain?” tanyaku.
“Yah, buat nyapa dia-lah, Luna! Kamu gimana sih?!”
“Mendingan jangan…”
Bela memandangku, minta penjelasan.
“Soalnya disana juga ada teman-temannya…” jawabku polos.
“Kamu takut aku diejek? Atau kamu takut Radit bakal nyuekin aku?”
“Dua-duanya!”
“Aku hanya pengen tahu, Lun, apa Radit udah sadar atau belum!”
Bela punya khayalan kalau Radit sebenarnya sangat menyukai dirinya. Hanya saja, cowok itu masih gengsi sebab menurut teman-temannya (tidak, atasannya), Bela itu punya cacat nama. Jadi cewek yang punya cacat nama tidak boleh dijadikan pacar. Gengsi. Itulah alasannya. Jadi Bela menganggap Radit belum mendapatkan kesadaran atau pencerahan lebih tepatnya.
“Aku nggak ikut!” kataku cepat.
Bela tetap saja melenggang pergi. Dia tidak peduli kalau aku tidak ikut. Dan benar saja, ketika Bela sampai disana dan menyapa Radit, semuanya berubah menjadi neraka. Yah, setidaknya itulah menurutku.
Radit hanya menggangguk pada Bela lalu masuk ke ruang referensi, memilih buku paling tebal dan pura-pura sibuk membaca. Pada akhirnya, Bela harus berhadapan dengan teman-teman Radit yang mulai melontarkan pendapat kejam mereka. Bela inilah, itulah, beginilah, begitulah, blah, blah, blah… aku tidak suka mendengarnya.
Bela kembali padaku. “Dia masih belum dapat pencerahan!” katanya.
“Mungkin kamu seharusnya ngajak dia ke India atau Tibet buat mendapatkan pencerahan!” ujarku.
Bela tertawa. “Iya, kamu bener. Padahal aku kira dia sudah sadar. Soalnya, kemarin aku ketemu dia di Mall dan dia mau ngobrol ngalor-ngidul denganku!”
Aku hanya tersenyum dan Bela kembali tertawa dan bel masuk kelas pun berdering.
@@@@
Sore ini, aku dan Bela memutuskan buat jalan-jalan ke sungai di dekat rumah nenek Bela. Aku sudah pernah kesana sebelumnya dan terus terang saja, tempat itu sangat menakjubkan. Ada banyak batu besar di sungai itu dan kamu bisa duduk-duduk di atas batu-batu itu sambil mengobrol. Itulah yang paling aku sukai dari alam.
“Nanti, aku mau buat rumah di pingir sungai ini.” Ungkap Bela. Dia memang bercita-cita menjadi arsitek. Sedangkan aku, masih belum memutuskan.
Bela duduk dihadapanku dengan celana pendek pink-nya dan kakinya yang dia celupkan ke sungai. Aku sendiri memilih untuk duduk bersila dan menjauhkan kaki-ku dari air sungai. Aku ingin menceburkan diri nanti saja ke sungai ini.
“Kamu seharusnya udah nentuin mau jadi apa, Lun!” kata Bela lagi.
Aku tersenyum kemudian memikirkan salah satu cita-cita yang sering aku dengar dilontarkan oleh tetanggaku yang masih berumur enam tahun.
“Mungkin aku bakal jadi guru. Atau penulis. Atau malah keduanya!” jawabku mantap. “Yang jelas, aku pengen menghindari pekerjaan yang perlu skill menghitung! I hate that…”
Bela tertawa nyaring. Lalu kami pun terdiam. Satu detik, dua detik, tiga detik. Kami berdua hanyut dalam indahnya buaian alam. Tapi akhirnya, Bela lagi yang memecah keheningan.
“Kamu malu ya, temenan sama aku?” tanya Bela.
Aku kaget. “Kenapa harus malu?”
“Masalahnya, aku selalu ngerasa kamu selalu berusaha menjauhkan aku dari Poppy dan kawan-kawannya. Apa kamu malu temenan sama orang yang sering kena ejek?”
“Aku nggak malu, Bel.” Jawabku.
“Trus?”
“Aku cuman takut kalau suatu waktu kamu tidak tahan trus ngelakuin hal gila. Aku nggak suka lihat kamu kayak gitu! Jadi lebih baik mereka dihindari…”
“Aku nggak apa-apa kok… Biarin aja mereka kayak gitu. Mereka hanya sekelompok orang yang pengen mengungkapkan pendapatnya. Ini negara demokrasi lho, Lun…”
“Yah, tapi demokrasi kan nggak kayak itu…” kataku.
“Lun, aku bangga pada nama yang diberikan orang tuaku. Aku bangga mereka membandingkanku dengan hutan belantara. Kamu tahu hutan belantara seperti apa?”
Aku mengangguk. “Itu tempat buat hewan-hewan tertentu untuk berlindung… tempat semua pohon bisa tumbuh dengan subur tanpa gangguan dari manusia…”
“Yep. Hutan punya peranan penting dalam siklus kehidupan. Coba kamu bayangkan kalau tidak ada hutan? Kamu mau menghirup uadara yang nyampur sama asap kendaraan?”
Aku menggeleng.
“Aku pengen jadi kayak hutan. Aku pengen jadi paru-paru dunia! Yang selalu bisa membantu banyak makhluk di muka bumi ini.” Kata Bela. “Sebenernya masih banyak banget yang belum aku tahu tentang hutan. Makanya, aku mungkin juga akan jadi ahli kehutanan!”
“Gimana caranya, Bel?” tanyaku.
“Pasti ada caranya! Tenang aja…”
Kami berdua kembali terdiam. Aku malu karena sudah salah menilai sahabatku. Aku pikir dia cewek yang lemah. Sebelumnya, aku belum pernah mendengar pendapatnya tentang ejekan teman-teman di sekolah. Aku hanya menerka-nerka dengan akalku yang super terbatas.
“Apa kamu takut, Lun, kalo nanti kamu juga akan kena ejek?” tanya Bela.
Pertanyaan ini membuatku lebih kaget lagi. Aku tidak pernah menyangka kalau Bela ternyata bisa membaca pikiran. Tapi aku memutuskan untuk jujur. Sama seperti Bela yang sudah sangat jujur padaku selama ini.
“Jelas ada, Bel.” Jawabku hati-hati. “Aku takut, aku juga akan kena…”
Bela malah tersenyum. “Tenang aja, Lun. Kalo mereka berani nyentuh kamu, pasti deh saat itu aku akan berubah gila. Akan aku tunjukkan pada mereka siapa Hutan Belantara sebenarnya!”
Aku dan Bela tertawa. Aku lalu mencelupkan kaki-ku ke air sungai. Kesejukan langsung menusuk tulang-tulangku dan aku bahagia bisa merasakan semua ini bersama sahabatku, Si Nona Hutan Belantara.
0 komentar:
Posting Komentar