Aku memilih berjalan pulang ke rumah ketimbang naik angkot. Pertimbanganku banyak. Selain aku tidak suka berdesakan, perhitungan uang jajan yang menipis juga masuk perdebatan di otakku.
Jadilah aku berjalan sendiri di bawah terik sinar matahari. Menjadi siswa SMA memang tidak mudah. Apalagi karena aku miskin.
“Win, kok sendirian?” sapa sebuah suara di belakangku.
Aku langsung tahu siapa pemilik suara empuk itu. Baruna. Belakangan ini aku memang suka sekali mengobrol dengannya. Ada rasa ekstrim tiap kali aku dekat dengannya. Rasa ekstrim ini biasa aku rasakan jika aku melakukan aktivitas gila seperti Bungee Jumping atau naik gunung.
“Semuanya udah pada duluan…” jawabku.
Baruna yang mengendarai motornya langsung menepi di depanku dan mematikan mesin motornya.
“Gimana kalo aku antar saja?” tanya-nya.
Penawaran yang sangat menggiurkan. Aku mulai mempertimbangkan. Ada banyak alasan kenapa aku harus menolak dan kenapa aku harus menerimanya.
Aku harus menolak sebab Baruna sudah punya pacar. Apalagi pacar Baruna teman sekelasku sendiri. Kan tidak etis?! Apa kata orang nanti!
Tapi aku juga harus menerima tawaran itu soalnya, matahari begitu terik dan rasanya aku mau pingsan saja. Apalagi aku mengantuk berat jadi tubuhku benar-benar jadi lemas.
“Kenapa bengong?” tanya Baruna. Dia pasti heran melihat wajah anehku.
Aku tersenyum. Sampai detik itu, aku belum mendapatkan jawaban atas penawaran Baruna itu.
“Udahlah. Nggak usah kebanyakan mikir. Kamu mau mati kepanasan, ya?”
Aku mengganggap kalimat itu sebagai penyemangat dan dengan gembira aku naik ke atas motor Baruna.
@@@@
Ada rasa takut dalam diriku ketika aku menginjakkan kakiku di sekolah keesokan harinya. Aku takut kalau-kalau kemarin ada teman yang melihat aku dibonceng Baruna. Rasa ngeri akan dilabrak oleh Cantika, pacar Baruna, membayang-bayangiku.
Tapi tidak ada yang terjadi saat aku sampai di kelas. Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu manusia pun yang menghakimiku. Baruna bahkan sudah dengan gagahnya duduk di mejaku.
Cantika rupanya belum sampai di sekolah jadi aku dapat kesempatan buat ngobrol sepuasnya dengan Baruna (lagi).
“Hari ini katanya ada tugas matematika, ya?” tanya Baruna dengan senyum lebarnya yang khas.
“Ada. Tapi aku udah selesaikan waktu hari sabtu…” jawabku.
“Wah, kalo Cantika baru aja selesai tadi pagi. Jam empat subuh dia nelpon aku buat nanyain tugas matematika itu. Gila banget!”
Aku tidak dapat bilang apapun kalau sudah menyangkut Cantika. Meski dia teman sekelasku, tapi kami beda gang. Kami bahkan jarang sekali mengobrol. Tapi anehnya dengan pacar Cantika, aku sudah seperti mengenalnya berabad-abad yang lalu.
“Kamu tersenyum?” tanya Baruna.
“Kenapa?” aku malah dengan bodohnya balik bertanya.
“Wina, kamu tersenyum sendiri tadi. Ada apa?”
Rupanya saat mendengarkan Baruna bicara, aku menunjukkan senyum bodohku. Dan aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak tahu kenapa aku tersenyum tanpa sadar seperti itu.
“Sayyyy….” teriak Cantika dari ambang pintu.
Baruna langsung menghampiri pujaan hatinya itu. Tapi aku tidak mengerti kenapa ada rasa tidak enak di dadaku. Aku ingin sekali kabur dari tempat itu. Ingin sekali rasanya pergi ke tempat yang jauh.
@@@@
Rasa tidak enakku masih aku bawa sampai jam istirahat pertama. Aku dan Mia, sahabatku, memutuskan untuk membeli es kelapa muda saja. Mia berpendapat kalau aku pasti kepanasan makanya bisa merasa tidak enak seperti itu.
Satu-satunya penjual es kelapa muda di SMA Nusa Bangsa terletak di sebelah kelas X.1. Itu artinya aku bakal melewati kelas-nya Baruna. Belum sampai kakiku menginjak areal kebun kelas X.1, jantungku berdetak kencang. Padahal aku tidak melewati jalan menanjak. Aku juga tidak berlari.
Dan perasaan tidak enak-ku semakin menjadi-jadi waktu aku melihat pemandangan romantis di depanku. Baruna dan Cantika sedang duduk bareng di kedai es kelapa muda SMA Nusa Bangsa.
“Gimana kalau kita beli es buah aja di depan?” usulku pada Mia.
Mia menghentikan langkahnya. “Beli es buah? Kejauhan, Win! Kita udah sampe disini masa musti balik lagi. Nanti keburu bel masuk kelas…”
“Kalau gitu, nggak jadi aja deh.” Aku berbalik dan berjalan menuju kelasku sendiri.
Mia mengejarku. “Kamu kenapa?” tanya-nya.
Pertanyaan itulah yang tidak bisa aku jawab. Ada apa sama diriku? Aku merasa sangat sakit tapi aku tidak tahu bagian tubuhku yang mana yang bermasalah. Aku juga merasa begitu melankolis. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari diriku.
Sampai bel pulang berbunyi, aku sama sekali tidak dapat menemukan jawaban atas kegundahanku.
@@@@
Untungnya, sore itu ibu menyuruhku mengantar adik sepupuku ke Taman Kota untuk belajar menari. Rencananya, kesempatan itu akan aku manfaatkan sebaik-baiknya mencari tahu apa yang terjadi pada diriku.
Tapi yang aku temukan di Taman Kota membuatku lupa pada misi besarku. Baruna tahu-tahu saja menghampiriku. Katanya, dia juga mengantar adiknya belajar menari. Tapi, meski begitu aku mendapatkan celah kecil untuk mengintip jawaban atas rasa aneh dalam diriku.
“Kamu nggak belajar menari?” tanya Baruna.
“Nggak. Aku lebih suka naik gunung atau berenang. Lebih menantang!” jawabku.
“Wah, kamu cewek yang suka tantangan, ya. Sayangnya, Cantika benci banget sama hal yang berbau tantangan. Padahal sebenarnya aku juga suka tantangan.”
Pada titik ini, aku merasa sepertinya aku memenangkan sebuah kontes besar yang hanya digelar sekali dalam satu abad. Aku pun mulai sadar apa arti perasaan itu.
“Kenapa nggak gabung sama sispala?” tanyaku.
“Cantika mana mau aku gabung sama sispala. Dia pasti marah-marah!”
“Sebagai cewek yang baik, dia seharusnya ngasi kamu kebebasan buat memilih.” Kataku.
“Coba aja kalo cewekku kamu…” kata Baruna. Dia tersenyum ke arahku.
Tanpa menganalisis lebih dalam perasaanku, aku langsung tahu apa arti sikapku selama ini. Aku menyukai Baruna bukan sebagai teman yang asik diajak mengobrol. Bukan juga karena Baruna suka tantangan sama seperti diriku.
Tapi karena aku melihat Baruna sebagai lawan jenisku. Karena dia adalah pria dan aku adalah wanita. Rasa yang muncul ini sama sekali tidak bisa aku bendung.
@@@@
Malam itu, aku merenung super dahsyat di kamarku. Bahkan, tugas biologi Bu Maria batal aku sentuh. Aku hanya ingin membuat keputusan tentang apa yang bakal aku lakukan pada perasaanku ini.
Jelas, aku tidak mau berurusan dengan Cantika. Dia terlalu angker untuk diajak berseteru. Cantika bukan cewek yang bisa berbelas kasih. Dia pasti akan menginjak-nginjakku begitu tahu apa yang aku rasakan pada pacarnya.
Di sisi lain, aku juga tidak bisa memadamkan perasaanku begitu saja. Perasaanku ini adalah bunga mawar yang baru saja bermekaran. Apa aku harus berbuat jahat dan merabasnya? Tidak. Bunga mawar ini tidak sering-sering tumbuh. Ini mawar langka dan aku ingin melihatnya berkembang.
Jadi kemudian aku menulis di buku harianku.
Pesan kepada seseorang: meski semua pintu kesempatan sudah tertutup, bukan berarti aku harus mematikan mawar yang sudah terlanjur tumbuh di hatiku, bukan?!