Ini dia pengalaman paling tragis dalam hidupku. Aku kadang tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku akan mulai saja dari hari ketika aku dan teman-temanku datang ke kampus untuk mengesahkan ijasah (maklum, waktu itu kami semua baru saja di wisuda). Kami semua datang ke kampus dengan harapan bahwa salah satu ijasah yang disahkan itu akan diterima salah satu perusahaan di Bali. Tidak lupa, hari itu aku dan Kadek, teman baikku, mengintip Bali Post buat mencari lowongan kerja dan disanalah lowongan dahsyat itu tertera: dicari 5 orang staff admin S1 sgl jurusan. Lam kirim ke Jl. Hayam Wuruk no…. Aku dan Kadek langsung tertarik untuk menjadi salah satu pelamar dan berharap diterima bekerja disana. Sebab, kami tahu pemimpin lembaga itu adalah orang yang ternama.
Baca saja kisah pertemuanku dengan pemimpin lembaga itu disini. Beda sekali dengan apa yang aku hadapi setelah aku diterima disana. Kadek malah beruntung tidak diterima. Pimpinan lembaga itu sangat-sangat kurang ajar dan aku kecewa. Ketika hari pertama kerja di tempat itu, aku dan ketiga kawanku yang diterima langsung mendapatkan sapaan yang mengerikan: kami harus melakukan tugas yang sama sekali berbeda dengan yang dikatakan dulu saat wawancara. Tapi aku memilih untuk bersabar dahulu sebab aku berpikir mungkin semua orang sedang sibuk jadi tidak sempat mengurusi job desk kami. Aku menjalani dengan senang tugas yang bukan tugasku. Aku malu banget sekarang karena sudah berpikir begitu.
Selama minggu pertama kerja disana, aku dan dua orang lainnya belum menemui kenyataan paling pahit meski sebenarnya kerja 11 jam sangat tidak normal. Bayangin aja, aku harus kerja 11 jam di hari pertamaku kerja! Minggu kedua, penderitaan itu dimulai. Aku mendapatkan omelan pertamaku dan jam kerjaku bertambah menjadi 15 jam per hari. Ajaib kan? Seharusnya aku masuk MURI (kebetulan, pimpinan lembaga tempat aku bekerja itu juga sering masuk MURI). Memang sih, saat itu masih bisa aku tahan. Aku bertekad akan bertahan sampai 6 bulan yaitu ketika kontrakku berakhir. Aku terima semua omelan yang semakin hari semakin memburuk. Aku mulai mendengar kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan oleh orang yang telah meraih tingkatan tertinggi dalam pendidikan. Dan juga seharusnya kata-kata kasar itu tidak keluar dari mulut seseorang yang mengaku dirinya raja.
Kesengsaraan terbesarku datang ketika aku mendapat tugas ke Kendari. Aku mungkin seharusnya senang karena akhirnya aku akan naik pesawat dan bisa menyamai pengalaman anggota keluargaku yang lain yang sudah pernah naik pesawat. Tapi alis sebelah kananku berkedut terus dan itu tanda yang tidak baik. Aku tiba di Kendari dengan selamat dan sehari setelah tiba disana, aku langsung menghadapi nerakaku. Aku harus bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 pagi. Aku juga harus mendengarkan kata-kata makian yang tidak seharusnya aku dengar (bangsat, goblok, keleng – ini bahasa Bali – brengsek, dll). Catat ya, yang mengucapkan semua kata-kata kasar itu adalah pimpinan sebuah lembaga pendidikan. Aku terima begitu saja sebab kalau aku berontak, aku takut tidak akan diajak pulang ke Bali. Jadi aku hanya menunggu sampai hari kepulangan tiba.
Hanya saja, sebelum hari itu tiba tubuhku sudah tidak bisa memberi toleransi. Aku sakit. Demamku tinggi sekali dan sakitnya bahkan sampai menusuk tulang-tulangku. Aku memutuskan untuk istirahat saja sebab tidak mau sakitnya bertambah parah. Tapi, atasanku yang aneh ini malah marah-marah dan tidak terima bila aku sakit (oh, come on! Kalau aku bisa milih, aku juga tidak mau sakit!!!!). Dia menyuruhku untuk bersiap-siap dan aku harus bekerja. Benar saja, aku kembali bekerja seperti biasa yaitu sampai jam 4 pagi. Coba saja bayangkan, aku lagi demam tinggi dan aku harus bekerja sampai pagi. Hasilnya, sepulang dari Kendari aku masuk rumah sakit. Dan ketika aku keluar dari lembaga yang mengaku sebagai lembaga pendidikan tertua di Bali itu, aku malah harus bayar pinalti yang sangat besar jumlahnya.
Aku masih ingat, ketika menerjemahkan salah satu artikel atasan anehku itu, dia pernah menulis kalau sebagai generasi muda, kita harus berani tampil beda, berani bicara lantang, dan blah blah blah. Aku sekarang menulis ini karena terinspirasi tulisan atasan anehku itu. Inilah ucapan lantangku. Sekarang aku bilang, apa pantas seseorang yang sudah melewati jenjang tertinggi dalam dunia pendidikan mengeluarkan kata-kata yang seharusnya diucapkan peman (tidak. Tidak satu orang manusia pun pantas mengucapkan kata-kata seperti itu)? Anda tidak layak dihormati, bung, sebab anda sama sekali tidak bersikap seperti orang yang layak dihormati.
0 komentar:
Posting Komentar