Aku sangat ngeri membayangkan kalau Hayden akan menelponku. Ada banyak pikiran aneh menerorku. Hal ini diperparah oleh pernyataan Hayden di Kafe Teh itu. Dia bilang dia menyukaiku. HAYDEN MENYUKAIKU!!! Aku gila memikirkan perkataan ini. Tidak mungkin.
Aku kemudian mencoba menghibur diriku dengan menegaskan bahwa Hayden menyukaiku sebagai teman. Karena selama ini aku banyak membantunya bersosialisasi di SMA 33. Akulah orang yang mengantarnya berkeliling sekolah. Dan aku juga guru yang satu-satunya tidak menjadi gila bila bertemu dengannya. Jadi wajar bila dia menyukaiku. Mungkin karena aku unik…
Tapi kemudian perkataan Hayden yang lain menghantam kepalaku. Dia bilang jika dia akan menelponku!!! Aku tidak mau ditelpon oleh Hayden. Kalau dia menyukaiku sebagai teman, dia tidak perlu menelponku. Sudah cukup dia membawaku ke Kafe itu dan membuatku mati dihadapan Almondia!
Oke, aku tidak suka bila Hayden menyukaiku bukan sebagai teman. Aku tidak mau. Masalahnya, dia itu lebih tua dariku. Jauuuuhhhhh lebih tua dariku. Tambahan pula, dia itu duda. Meski Hayden berstatus duda keren tapi tetap saja dia DUDA! Tidak akan ada yang dapat mengubah fakta itu.
Jadi, sore itu aku sudah menonaktifkan handphoneku. Aku bahkan sudah mempersiapkan alasan bila di sekolah Hayden bertanya. Aku akan bilang jika handphoneku lowbat dan aku lupa mengisi baterenya. Alasan yang sempurna. Apalagi ditambah dengan keadaan kejiwaanku yang tidak bagus setelah hampir kecopetan.
Paginya aku bangun dengan cerah. Siap dengan alasan yang akan aku sampaikan pada Hayden bila dia bertanya. Bila tidak, aku akan sangat bersyukur sebab tidak perlu menambah dosa.
Aku tiba di sekolah agak siang. Sebelum masuk ke ruang guru aku menyempatkan diri buat bersembahyang di Pura Sekolah. Dan disanalah Hayden duduk bersila… Apakah ini termasuk takdir? Aku harus berbohong di rumah para Dewa? Mengerikan!
“Udah baikan?” tanya Hayden. Aku mengangguk dan mempersiapkan diri untuk mulai bersembahyang. Ternyata Hayden juga belum mulai. Jadi lantas kami bersembahyang bersama-sama. Setelah selesai, Hayden membantuku membersihkan bunga yang baru saja kami gunakan.
“Tadi malam tidurnya nyenyak?” Hayden bertanya lagi.
Mengebalkan. “Iya, nyenyak banget!” jawabku.
“Nanti mulai mengajar jam ke berapa?”
“Jam ke empat! Kamu tadi ngajar berapa kelas?”
“Dua kelas. Tapi aku jadikan satu saja.”
Pekerjaanku telah selesai. “Aku mau ke ruang guru sekarang.”
“Yah, ayo sama-sama!”
Ruang guru seperti biasa sepi. Aku memersiapkan buku-buku yang akan aku pakai mengajar. Sementara itu, Hayden lagi-lagi hanya memperhatikanku. Karena merasa bosan diperlakukan seperti ini, aku memulai pertanyaan yang menurutku sangat berani.
“Yang kemarin itu model Almondia, kan?” tanyaku.
Hayden mengerjap. “Ya, dia salah satu kenalanku. Model yang sangat berbakat!”
“Dia lagi liburan di Bali, ya?”
“Hmmm…” Hayden masih memperhatikanku. Apa maunya?
“Dia nggak jauh beda sama tampangnya di majalah! Cantik banget!”
“Waktu aku bilang dia berbakat, kata itu nggak termasuk cantiknya. Dia operasi plastik. Nggak banyak yang tahu. Cuman kalangan teman dekat aja…”
“Berarti kamu termasuk teman dekatnya, dong?!”
“Bukan. Temanku adalah teman dekatnya Almon!” jawab Hayden.
Aku diam, pura-pura sibuk membaca buku paket. Padahal pikiranku tertawa sebab aku dan Hayden punya kesamaan dalam cara memanggil Almondia - Almon. Tapi cepat-cepat aku singkirkan pikiran gila ini. Sedangkan, Hayden masih sibuk menatapku. Aku bisa melihatnya dari sudut mataku!
“Kenapa bertanya seperti itu?” tanya Hayden. Dia menahan dagunya dengan tangan kanan.
“Pertanyaan yang mana?” aku balik bertanya.
“Kalo aku teman dekatnya Almon…”
“Pengen tahu aja! Soalnya, salah satu adik sepupuku ngefans sama Almon.”
Aku tahu Hayden ingin membalas ucapanku barusan tapi tiba-tiba saja Bu Ayu masuk. Dia terlihat sangat panik. Jadi aku langsung menebak kalau ada siswa yang berkelahi lagi. Terakhir kali siswa SMA 33 berkelahi, kaca jendela perpustakaan hancur lebur dan ibu penjaga perpustakaan kena beling kaca hingga tangannya harus dioperasi. Tapi bukan itu yang membuat Bu Ayu terlihat panik.
“Atasan mengundurkan diri!” teriak Bu Ayu.
“Apa??!!” teriakku bersamaan dengan Hayden.
“Kok bisa?” tanyaku lagi.
“Bapak dapat promosi ke dinas pendidikan!” jawab Bu Ayu.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Berarti harus mengadakan pemilihan kepala sekolah yang baru.” ucap Bu Ayu.
“Apa guru yang lain sudah tahu?” tanya Hayden.
Untuk pertanyaan yang ini, mata Bu Ayu berbinar-binar waktu menjawabnya. “Belum. Tapi nanti saat istirahat akan saya umumkan!”
Terus terang saja aku kaget. Bukan karena aku guru yang akrab dengan kepala sekolah dan tidak mau kehilangan kepemimpinannya. Aku ingat dia pernah memberikanku tips mengajar yang bagus saat tiba pertama kali di sekolah ini. Katanya aku harus memberikan pujian pada anak yang nakal agar aku bisa mengambil hati mereka. Sehingga, katanya lagi, aku akan dengan mudah menguasai mereka.
Bukan hal ini yang membuatku terkejut. Tapi pada perkataan Ina. Sahabatku itu pernah bilang kalau mungkin saja kepala sekolah akan mengundurkan diri. Apa yang diucapkan Ina menjadi kenyataan.
Tidak sampai disini saja kekagetanku. Setelah bel istirahat berbunyi dan semua guru sudah mendengar pengunduran diri kepala sekolah, wakasek kesiswaan memanggilku ke ruangannya. Dia ingin membiacarakan tentang kepindahan siswa di kelas asuhanku.
“Nia dan Fika mengajukan surat kepindahan!” katanya.
Aku melongo. Aku sulit sekali mencerna berita ini.
“Apa ibu bisa mengurus surat-suratnya?” tanya wakasek kesiswaan padaku.
“Kenapa mereka pindah, Pak?” tanyaku.
“Katanya ikut orang tua pindah tugas. Salah satunya pindah ke Jogja dan yang satunya lagi ke Jakarta!”
Aku tersenyum getir. Aku tidak mengerti ini. “Mereka siswa berprestasi dari kelas saya, Pak!” ucaku.
“Ya, saya tahu itu tapi saya harap ibu bisa mengurus semuanya dengan cepat.”
Ketika aku keluar dari ruang wakasek kesiswaan, aku menemukan Hayden bersandar pada tembok. Dia pasti melihat wajah seriusku dan urung mengatakan apapun yang ingin dikatakannya. Waktu aku pergi begitu saja, dia tidak mengkutiku. Aku tidak percaya jika Nia dan Fika pindah. Aku sangat bangga pada mereka!
@@@@
Aku tahu kalau aku harus mengatakan semuanya pada Ina. Semua hal. Termasuk kata-kata Hayden di Kafe itu. Termasuk juga tentang kepindahan kepala sekolah. Malam itu, malam setelah aku mendapat kabar kepindahan siswa favoritku, aku mengajak Ina bicara. Dia seperti biasa terlihat santai.
“Hayden yang menolongku waktu aku kecopetan tempo hari.” Aku memulai.
Ina tidak terlihat kaget. “Apa dia beraksi seperti di film-film?” tanya Ina.
“Dari mana kamu tahu?”
“Jian, dia itu kan aktor laga. Jadi wajar kalau sisa-sisa ilmu bela dirinya masih ada!”
“Ya, tapi dia juga mengajakku minum teh di Sanur.”
Ina masih belum kaget. “Jadi kamu ngelupain Ardi?”
“Bukan gitu…”
Ina memandangku sambil tersenyum. “Jian, oke-oke kalo kamu ngelupain Ardi demi seorang Hayden! itu normal kok!”
“Baiklah. Tapi, gimana menurutmu kalo Hayden bilang jika dia menyukaiku?”
Sekali lagi Ina terlihat santai. “Aku rasa yang ini juga normal. Kamu cantik Jian. Kamu juga unik. Aku yakin hanya kamu yang nggak gila bila melihat Hayden.”
“Nenekku juga nggak gila kalo ngelihat Hayden…”
Ina tertawa. “Kalian ngapain aja?”
“Cuman ngobrol aja! Tapi dia juga membicarakan mantan istrinya!”
“Dia bilang apa?” tanya Ina. Kali ini dia terlihat tertarik. Tapi aku segera melakukan aksi tutup mulut dan Ina kembali tenang.
“Aku juga ketemu Almondia di Kafe itu!” ucapku.
“Dia pasti marah ngeliat Hayden akrab sama cewek lain!” kata Ina.
“Aku rasa nggak. Dia malah mengedip padaku. Tapi dia cantik banget!”
“Itu berkat operasi plastik!”
“Hayden juga bilang begitu.” Kataku. “Tapi In, Almon juga nanya tentang misi Hayden!”
Ina terlihat seperti orang yang memakai ganja. Dia jadi terlihat galak!
“Misi apa?” tanya Ina.
“Aku juga nggak tahu. Aku malah ingin tanya ke kamu!” jawabku.
“Di sekolah ada berita apa aja?”
Lidahku langsung menari dan menceritakan apa yang terjadi. Aku mengatakan keherananku akan kepindahan kepala sekolah yang menurutku agak aneh. Atasan kan sudah di ambang usia pensiun, kenapa baru sekarang dipindah ke dinas pendidikan? Aku juga mengatakan tentang dua siswi favoritku yang pindah. Lalu, aku bertanya pada Ina kira-kira apa lagi yang akan terjadi setelah ini. Sebab, kelihatannya Ina punya bakat baru: membaca apa yang akan terjadi di masa depan!
“Jangan kaget, ya!” kata Ina. “Bisa saja pacarmu yang jadi kepala sekolah!”
“Pacarku? Siapa? Aku sudah putus dengan Ardi!” ucapku bingung.
“Bukan Ardi. Tapi Hayden Mahendra!”
“Aku nggak pacaran dengan Hayden!”
“Nanti kamu mungkin bakal pacaran ama dia.” Ina terlihat sangat bersemangat.
“Sebenarnya apa yang lagi terjadi?” tanyaku.
“Jian, sekolah bakal dijual dan Hayden kayaknya ada dibalik ini semua!”
“Hayden?”
“Yap! Dia kenal sama investor yang pengen membangun studio film di tanah SMA 33!”
“Belum tentu Hayden ikut campur, kan?”
“Menurutmu apa alasan Hayden tiba-tiba mau mengajar? Apa kamu percaya sebagai terapi setelah bercerai? Bohong!”
Aku hanya bengong. Berikutnya, Ina hanya menyuruhku untuk terus mengawasi Hayden. Kalau bisa dia menyuruhku untuk sekali-kali mengajak Hayden ke kost! Enak saja. Aku tidak akan melakukan hal gila kayak gitu!
@@@@
Aku bahkan tidak perlu menuruti nasehat Ina untuk mengundang Hayden ke kost. Duda itu datang sendiri ke kost-ku. Entah dari mana dia tahu alamat tempat kost-ku. Tapi kemudian aku mengutuki daftar alamat para guru yang terpajang di kantor wakil kepala sekolah. Rasanya pengen banget aku ke sekolah dan merobek daftar itu lalu segera mencari tempat kost baru!
Tapi aku rasa tak ada gunanya. Seperti biasa kedatangan Hayden menimbulkan kehebohan yang luar biasa. Biar kuceritakan. Hari itu adalah hari minggu pagi yang cerah ceria dan terang benderang. Aku dan Ina sedang mengurus kebun kecil di depan kamar kami. Ina selalu mengeluh sebab ada lebih banyak nyamuk yang masuk ke kamarnya. Dan seperti keadaan normalnya, Ina menyalahkan taman di depan kamar kami yang katanya terlalu rimbun. Padahal, dia saja yang menumpuk baju sembarangan.
Ina bersikeras kalau dia ingin mencabut semua tanaman yang susah payah aku tanam dan menggantinya dengan kaktus! Aku bilang padanya kalau sebaiknya dia pindah saja ke gurun Sahara!
“Kalo aku punya duit, dari dulu aku sudah pindah kesana!” jawab Ina lantang.
“Minta pinjaman aja ke bank. Bilang kalo kamu pengen buat usaha. Terus kabur ke Sahara. Kamu pasti nggak ditemukan di tempat itu. Hebat kan rencanaku!” ucapku.
Ina tersenyum. “Aku ada ide yang lebih bagus: gimana kalo kita pinjam duit di pacarmu aja?”
“Pacarku?” Aku mulai mengerutkan kening. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini.
Tiba-tiba saja ibu kost berteriak seperti orang kesurupan. Otomatis, aku dan Ina jadi panik. Selanjutnya aku tahu apa yang membuat ibu kost jadi gila. Hayden berjalan gontai di belakang ibu kost. Dia membawa banyak bungkusan.
“Jian, ada yang mencarimu!” ucap ibu kost. Matanya bersinar cerah ceria seperti matahari. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada ibu kost. Tidak aku pedulikan kedipan matanya. Apa dia mau kenalan dengan Hayden? Ohhh, lebih baik dia mengurus suaminya saja!
Aku langsung menyapa Hayden dan memperkenalkan Ina, sahabatku. Di luar dugaanku, Ina bersikap sangat cool. Dia tidak gila. Dia tidak bereriak. Dia tersenyum dengan tenangnya. Ada apa dengannya? Waktu aku beranjak ke dapur untuk membuatkan Hayden minuman, Ina menyusulku. Dia menusuk pinggangku dan menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
“Jangan bilang kalo aku wartawan Populis!” bisiknya.
“Baiklah. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Aku nggak mau dia tahu aja.”
“Kamu bakal nemenin disini, kan?” tanyaku. Sebenarnya ini permintaan.
Ina tersenyum. “Nggak. Aku mau beli kaktus!”
Lalu Ina kabur dari hadapanku. Aku mendengarnya berpamitan pada Hayden. Ina bilang dia akan membeli kaktus. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benci tanaman. Ina begitu tega melakukan ini padaku.