Sabtu, 03 Desember 2011

Cerpen: Ada Yang Salah

Aku memilih berjalan pulang ke rumah ketimbang naik angkot. Pertimbanganku banyak. Selain aku tidak suka berdesakan, perhitungan uang jajan yang menipis juga masuk perdebatan di otakku.
Jadilah aku berjalan sendiri di bawah terik sinar matahari. Menjadi siswa SMA memang tidak mudah. Apalagi karena aku miskin.
“Win, kok sendirian?” sapa sebuah suara di belakangku.
Aku langsung tahu siapa pemilik suara empuk itu. Baruna. Belakangan ini aku memang suka sekali mengobrol dengannya. Ada rasa ekstrim tiap kali aku dekat dengannya. Rasa ekstrim ini biasa aku rasakan jika aku melakukan aktivitas gila seperti Bungee Jumping atau naik gunung.
“Semuanya udah pada duluan…” jawabku.
Baruna yang mengendarai motornya langsung menepi di depanku dan mematikan mesin motornya.
“Gimana kalo aku antar saja?” tanya-nya.
Penawaran yang sangat menggiurkan. Aku mulai mempertimbangkan. Ada banyak alasan kenapa aku harus menolak dan kenapa aku harus menerimanya.
Aku harus menolak sebab Baruna sudah punya pacar. Apalagi pacar Baruna teman sekelasku sendiri. Kan tidak etis?! Apa kata orang nanti!
Tapi aku juga harus menerima tawaran itu soalnya, matahari begitu terik dan rasanya aku mau pingsan saja. Apalagi aku mengantuk berat jadi tubuhku benar-benar jadi lemas.
“Kenapa bengong?” tanya Baruna. Dia pasti heran melihat wajah anehku.
Aku tersenyum. Sampai detik itu, aku belum mendapatkan jawaban atas penawaran Baruna itu.
“Udahlah. Nggak usah kebanyakan mikir. Kamu mau mati kepanasan, ya?”
Aku mengganggap kalimat itu sebagai penyemangat dan dengan gembira aku naik ke atas motor Baruna.
@@@@
Ada rasa takut dalam diriku ketika aku menginjakkan kakiku di sekolah keesokan harinya. Aku takut kalau-kalau kemarin ada teman yang melihat aku dibonceng Baruna. Rasa ngeri akan dilabrak oleh Cantika, pacar Baruna, membayang-bayangiku.
Tapi tidak ada yang terjadi saat aku sampai di kelas. Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu manusia pun yang menghakimiku. Baruna bahkan sudah dengan gagahnya duduk di mejaku.
Cantika rupanya belum sampai di sekolah jadi aku dapat kesempatan buat ngobrol sepuasnya dengan Baruna (lagi).
“Hari ini katanya ada tugas matematika, ya?” tanya Baruna dengan senyum lebarnya yang khas.
“Ada. Tapi aku udah selesaikan waktu hari sabtu…” jawabku.
“Wah, kalo Cantika baru aja selesai tadi pagi. Jam empat subuh dia nelpon aku buat nanyain tugas matematika itu. Gila banget!”
Aku tidak dapat bilang apapun kalau sudah menyangkut Cantika. Meski dia teman sekelasku, tapi kami beda gang. Kami bahkan jarang sekali mengobrol. Tapi anehnya dengan pacar Cantika, aku sudah seperti mengenalnya berabad-abad yang lalu.
“Kamu tersenyum?” tanya Baruna.
“Kenapa?” aku malah dengan bodohnya balik bertanya.
“Wina, kamu tersenyum sendiri tadi. Ada apa?”
Rupanya saat mendengarkan Baruna bicara, aku menunjukkan senyum bodohku. Dan aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak tahu kenapa aku tersenyum tanpa sadar seperti itu.
“Sayyyy….” teriak Cantika dari ambang pintu.
Baruna langsung menghampiri pujaan hatinya itu. Tapi aku tidak mengerti kenapa ada rasa tidak enak di dadaku. Aku ingin sekali kabur dari tempat itu. Ingin sekali rasanya pergi ke tempat yang jauh.
@@@@
Rasa tidak enakku masih aku bawa sampai jam istirahat pertama. Aku dan Mia, sahabatku, memutuskan untuk membeli es kelapa muda saja. Mia berpendapat kalau aku pasti kepanasan makanya bisa merasa tidak enak seperti itu.
Satu-satunya penjual es kelapa muda di SMA Nusa Bangsa terletak di sebelah kelas X.1. Itu artinya aku bakal melewati kelas-nya Baruna. Belum sampai kakiku menginjak areal kebun kelas X.1, jantungku berdetak kencang. Padahal aku tidak melewati jalan menanjak. Aku juga tidak berlari.
Dan perasaan tidak enak-ku semakin menjadi-jadi waktu aku melihat pemandangan romantis di depanku. Baruna dan Cantika sedang duduk bareng di kedai es kelapa muda SMA Nusa Bangsa.
“Gimana kalau kita beli es buah aja di depan?” usulku pada Mia.
Mia menghentikan langkahnya. “Beli es buah? Kejauhan, Win! Kita udah sampe disini masa musti balik lagi. Nanti keburu bel masuk kelas…”
“Kalau gitu, nggak jadi aja deh.” Aku berbalik dan berjalan menuju kelasku sendiri.
Mia mengejarku. “Kamu kenapa?” tanya-nya.
Pertanyaan itulah yang tidak bisa aku jawab. Ada apa sama diriku? Aku merasa sangat sakit tapi aku tidak tahu bagian tubuhku yang mana yang bermasalah. Aku juga merasa begitu melankolis. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari diriku.
Sampai bel pulang berbunyi, aku sama sekali tidak dapat menemukan jawaban atas kegundahanku.
@@@@
Untungnya, sore itu ibu menyuruhku mengantar adik sepupuku ke Taman Kota untuk belajar menari. Rencananya, kesempatan itu akan aku manfaatkan sebaik-baiknya mencari tahu apa yang terjadi pada diriku.
Tapi yang aku temukan di Taman Kota membuatku lupa pada misi besarku. Baruna tahu-tahu saja menghampiriku. Katanya, dia juga mengantar adiknya belajar menari. Tapi, meski begitu aku mendapatkan celah kecil untuk mengintip jawaban atas rasa aneh dalam diriku.
“Kamu nggak belajar menari?” tanya Baruna.
“Nggak. Aku lebih suka naik gunung atau berenang. Lebih menantang!” jawabku.
“Wah, kamu cewek yang suka tantangan, ya. Sayangnya, Cantika benci banget sama hal yang berbau tantangan. Padahal sebenarnya aku juga suka tantangan.”
Pada titik ini, aku merasa sepertinya aku memenangkan sebuah kontes besar yang hanya digelar sekali dalam satu abad. Aku pun mulai sadar apa arti perasaan itu.
“Kenapa nggak gabung sama sispala?” tanyaku.
“Cantika mana mau aku gabung sama sispala. Dia pasti marah-marah!”
“Sebagai cewek yang baik, dia seharusnya ngasi kamu kebebasan buat memilih.” Kataku.
“Coba aja kalo cewekku kamu…” kata Baruna. Dia tersenyum ke arahku.
Tanpa menganalisis lebih dalam perasaanku, aku langsung tahu apa arti sikapku selama ini. Aku menyukai Baruna bukan sebagai teman yang asik diajak mengobrol. Bukan juga karena Baruna suka tantangan sama seperti diriku.
Tapi karena aku melihat Baruna sebagai lawan jenisku. Karena dia adalah pria dan aku adalah wanita. Rasa yang muncul ini sama sekali tidak bisa aku bendung.
@@@@
Malam itu, aku merenung super dahsyat di kamarku. Bahkan, tugas biologi Bu Maria batal aku sentuh. Aku hanya ingin membuat keputusan tentang apa yang bakal aku lakukan pada perasaanku ini.
Jelas, aku tidak mau berurusan dengan Cantika. Dia terlalu angker untuk diajak berseteru. Cantika bukan cewek yang bisa berbelas kasih. Dia pasti akan menginjak-nginjakku begitu tahu apa yang aku rasakan pada pacarnya.
Di sisi lain, aku juga tidak bisa memadamkan perasaanku begitu saja. Perasaanku ini adalah bunga mawar yang baru saja bermekaran. Apa aku harus berbuat jahat dan merabasnya? Tidak. Bunga mawar ini tidak sering-sering tumbuh. Ini mawar langka dan aku ingin melihatnya berkembang.
Jadi kemudian aku menulis di buku harianku.
Pesan kepada seseorang: meski semua pintu kesempatan sudah tertutup, bukan berarti aku harus mematikan mawar yang sudah terlanjur tumbuh di hatiku, bukan?!

Hutan Belantara

Bu Ayu akhirnya keluar juga. Aku seharusnya senang sebab aku bisa mengerjakan tugas yang dia berikan sambil mengobrol dengan teman-temanku. Tapi faktanya, aku sama sekali tidak bisa tenang. Aku malah sangat khawatir.
“Kenapa bengong, Lun?” tanya Bela, teman sebangku-ku.
Aku menggeleng. Dan tahu nggak? Dialah yang membuatku khawatir. Di saat kelas kosong tanpa guru, teman-temanku yang lain pasti akan mulai mengejek Bela. Mereka suka sekali mengatakan kalau orang tua Bela pasti mabuk berat waktu memberinya nama. Soalnya, mereka memberi nama putri cantik mereka ‘Hutan Belantara.’
Selama ini Bela memang terlihat tenang-tenang saja. Dia sama sekali tidak peduli pada apapun yang dikatakan orang lain. Seolah-olah mereka semua hanyalah serangga kecil yang tidak perlu dihiraukan. Tapi aku takut kalau suatu saat Bela tidak akan tahan. Kesabaran ada batasnya.
“Masih bengong aja?!” ucap Bela lagi.
Aku memandanginya. “Masih mikir!” kataku.
“Perlu aku bantuin?”
“Nggak, Bel. Aku usaha sendiri dulu.”
Bela kembali menekuni tugasnya. Sedangkan, aku kembali berpikir sambil menantikan kicauan kejam teman-teman yang lain.
“Tan, ortu-mu udah siuman belum?”
Nah, perang tidak seimbang pun dimulai. Itu Poppy yang berkicau. Dia adalah cewek tercantik di kelas X.4 ini. Atau paling tidak, dia menggangap dirinya seperti itu.
Hanya saja, menurutku Bela jauh lebih cantik. Mungkin Poppy sadar hal ini makanya dia jadi yang paling getol mengejek Bela. Tentu saja, agar Bela punya kesan jelek jadi dia bisa terus berjaya sebagai yang tercantik.
“Kasi aja kopi, Tan.” Lanjut Poppy lagi. “Biasanya, kalo dikasi kopi, orang mabuk cepet sadar!”
Poppy tertawa dan tawa ini tentu saja diikuti oleh yang lain. Aku melirik Bela, mencoba meneliti wajahnya apakah dia akan meledak atau tidak. Tapi Bela masih tetap tenang. Dia masih berkonsentrasi pada soal matematika yang sedang dikerjakannya. Kenapa dia begitu tenang, ya?!
“Tan, apa kamu nggak pengen ganti nama?” tanya Windy. Dia adalah sahabat kental Poppy dan dia selalu melakukan apapun yang Poppy lakukan.
“Jangan-jangan dulu ortu-mu nggak hanya mabuk pas ngasi kamu nama. Tapi kamu memang dilahirkan di tengah hutan belantara!” kata Poppy yang diikuti oleh tawa yang lainnya.
Bela berhenti menulis. Dia meletakkan pulpennya dengan hati-hati lalu berbalik ke arah Poppy dan Windy.
“Pop, ortu-ku nggak mabuk kok dan mereka sangat waras.” Ucap Bela. “Dan aku nggak pengen ganti nama. Menurutku, nggak ada yang aneh dengan namaku…”
Aku melihat ekspresi wajah Poppy dan Windy. Mereka terlihat tidak senang – kesal lebih tepatnya, pada ucapan Bela. Aku tahu, Bela pasti memasang wajah tegar-nya. Sama seperti biasanya.
@@@@
Aku dan Bela sedang duduk di perpustakaan. Aku sengaja mengajak Bela ke tempat ini untuk menghindari Poppy dan konco-konconya. Mereka sangat berbahaya dan sanggup menghancurkan orang dengan sekali pandang saja.
Tadi kami berada di kantin. Namun, ketika mendengar suara kedatangan poppy and the gang aku langsung mengajak Bela kabur. Kalau mau jujur, Bela pasti tidak mau kabur. Dia akan lebih memilih tinggal di kantin dan melanjutkan menguyah camilannya.
“Memangnya mau cari buku apa?” tanya Bela padaku.
Itulah alasan yang aku pakai untuk menyeret Bela ke perpustakaan.
“Novel. Katanya perpus dapat sumbangan banyak novel remaja dari alumni!” jawabku. Tapi ini jawaban yang jujur, lho.
Bela ikut memilah novel di salah satu rak buku di belakangku. Sebenarnya, ada banyak alasan kenapa aku lebih memilih untuk menghindari Poppy cs. Yang pertama tentu aku tidak ingin melihat temanku sakit hati. Meski secara teknis hal itu belum aku temui dalam diri Bela. Yang kedua, aku takut ejekan itu akan menular padaku. Aku tidak mau kena ejek mereka. Bagaimana kalau mereka juga mengatakan kalau ortu-ku mabuk pas memberiku nama?
Soalnya, nama Luna tidak cocok denganku. Aku tidak cantik seperti bulan. Kalau sudah begitu, aku tahu aku akan mati. Aku mungkin akan pindah sekolah. Tidak, tidak hanya itu. Setelah pindah sekolah, aku juga akan ganti nama!
“Ada Radit!” ucap Bela bersemangat. Radit adalah cowok yang dia sukai. Tapi, apakah Radit juga menyukai Bela, aku tidak tahu. Radit sangat sulit ditebak.
“Mana?” tanyaku pada Bela.
“Itu. Di dekat ruang referensi.”
Aku melayangkan pandanganku ke tempat yang dimaksud. Dan disanalah Radit. Dia tidak sendiri. Dia bersama beberapa orang temannya. Tidak, rasanya lebih tepat bila aku menyebutnya atasan. Sebab, kadang aku melihat mereka memperlakukan Radit seperti babu. Dan teman-teman Radit itu juga tidak aku sukai. Mereka juga senang sekali mengatai Bela.
“Aku mau kesana!” kata Bela mantap.
“Ngapain?” tanyaku.
“Yah, buat nyapa dia-lah, Luna! Kamu gimana sih?!”
“Mendingan jangan…”
Bela memandangku, minta penjelasan.
“Soalnya disana juga ada teman-temannya…” jawabku polos.
“Kamu takut aku diejek? Atau kamu takut Radit bakal nyuekin aku?”
“Dua-duanya!”
“Aku hanya pengen tahu, Lun, apa Radit udah sadar atau belum!”
Bela punya khayalan kalau Radit sebenarnya sangat menyukai dirinya. Hanya saja, cowok itu masih gengsi sebab menurut teman-temannya (tidak, atasannya), Bela itu punya cacat nama. Jadi cewek yang punya cacat nama tidak boleh dijadikan pacar. Gengsi. Itulah alasannya. Jadi Bela menganggap Radit belum mendapatkan kesadaran atau pencerahan lebih tepatnya.
“Aku nggak ikut!” kataku cepat.
Bela tetap saja melenggang pergi. Dia tidak peduli kalau aku tidak ikut. Dan benar saja, ketika Bela sampai disana dan menyapa Radit, semuanya berubah menjadi neraka. Yah, setidaknya itulah menurutku.
Radit hanya menggangguk pada Bela lalu masuk ke ruang referensi, memilih buku paling tebal dan pura-pura sibuk membaca. Pada akhirnya, Bela harus berhadapan dengan teman-teman Radit yang mulai melontarkan pendapat kejam mereka. Bela inilah, itulah, beginilah, begitulah, blah, blah, blah… aku tidak suka mendengarnya.
Bela kembali padaku. “Dia masih belum dapat pencerahan!” katanya.
“Mungkin kamu seharusnya ngajak dia ke India atau Tibet buat mendapatkan pencerahan!” ujarku.
Bela tertawa. “Iya, kamu bener. Padahal aku kira dia sudah sadar. Soalnya, kemarin aku ketemu dia di Mall dan dia mau ngobrol ngalor-ngidul denganku!”
Aku hanya tersenyum dan Bela kembali tertawa dan bel masuk kelas pun berdering.
@@@@
Sore ini, aku dan Bela memutuskan buat jalan-jalan ke sungai di dekat rumah nenek Bela. Aku sudah pernah kesana sebelumnya dan terus terang saja, tempat itu sangat menakjubkan. Ada banyak batu besar di sungai itu dan kamu bisa duduk-duduk di atas batu-batu itu sambil mengobrol. Itulah yang paling aku sukai dari alam.
“Nanti, aku mau buat rumah di pingir sungai ini.” Ungkap Bela. Dia memang bercita-cita menjadi arsitek. Sedangkan aku, masih belum memutuskan.
Bela duduk dihadapanku dengan celana pendek pink-nya dan kakinya yang dia celupkan ke sungai. Aku sendiri memilih untuk duduk bersila dan menjauhkan kaki-ku dari air sungai. Aku ingin menceburkan diri nanti saja ke sungai ini.
“Kamu seharusnya udah nentuin mau jadi apa, Lun!” kata Bela lagi.
Aku tersenyum kemudian memikirkan salah satu cita-cita yang sering aku dengar dilontarkan oleh tetanggaku yang masih berumur enam tahun.
“Mungkin aku bakal jadi guru. Atau penulis. Atau malah keduanya!” jawabku mantap. “Yang jelas, aku pengen menghindari pekerjaan yang perlu skill menghitung! I hate that…”
Bela tertawa nyaring. Lalu kami pun terdiam. Satu detik, dua detik, tiga detik. Kami berdua hanyut dalam indahnya buaian alam. Tapi akhirnya, Bela lagi yang memecah keheningan.
“Kamu malu ya, temenan sama aku?” tanya Bela.
Aku kaget. “Kenapa harus malu?”
“Masalahnya, aku selalu ngerasa kamu selalu berusaha menjauhkan aku dari Poppy dan kawan-kawannya. Apa kamu malu temenan sama orang yang sering kena ejek?”
“Aku nggak malu, Bel.” Jawabku.
“Trus?”
“Aku cuman takut kalau suatu waktu kamu tidak tahan trus ngelakuin hal gila. Aku nggak suka lihat kamu kayak gitu! Jadi lebih baik mereka dihindari…”
“Aku nggak apa-apa kok… Biarin aja mereka kayak gitu. Mereka hanya sekelompok orang yang pengen mengungkapkan pendapatnya. Ini negara demokrasi lho, Lun…”
“Yah, tapi demokrasi kan nggak kayak itu…” kataku.
“Lun, aku bangga pada nama yang diberikan orang tuaku. Aku bangga mereka membandingkanku dengan hutan belantara. Kamu tahu hutan belantara seperti apa?”
Aku mengangguk. “Itu tempat buat hewan-hewan tertentu untuk berlindung… tempat semua pohon bisa tumbuh dengan subur tanpa gangguan dari manusia…”
“Yep. Hutan punya peranan penting dalam siklus kehidupan. Coba kamu bayangkan kalau tidak ada hutan? Kamu mau menghirup uadara yang nyampur sama asap kendaraan?”
Aku menggeleng.
“Aku pengen jadi kayak hutan. Aku pengen jadi paru-paru dunia! Yang selalu bisa membantu banyak makhluk di muka bumi ini.” Kata Bela. “Sebenernya masih banyak banget yang belum aku tahu tentang hutan. Makanya, aku mungkin juga akan jadi ahli kehutanan!”
“Gimana caranya, Bel?” tanyaku.
“Pasti ada caranya! Tenang aja…”
Kami berdua kembali terdiam. Aku malu karena sudah salah menilai sahabatku. Aku pikir dia cewek yang lemah. Sebelumnya, aku belum pernah mendengar pendapatnya tentang ejekan teman-teman di sekolah. Aku hanya menerka-nerka dengan akalku yang super terbatas.
“Apa kamu takut, Lun, kalo nanti kamu juga akan kena ejek?” tanya Bela.
Pertanyaan ini membuatku lebih kaget lagi. Aku tidak pernah menyangka kalau Bela ternyata bisa membaca pikiran. Tapi aku memutuskan untuk jujur. Sama seperti Bela yang sudah sangat jujur padaku selama ini.
“Jelas ada, Bel.” Jawabku hati-hati. “Aku takut, aku juga akan kena…”
Bela malah tersenyum. “Tenang aja, Lun. Kalo mereka berani nyentuh kamu, pasti deh saat itu aku akan berubah gila. Akan aku tunjukkan pada mereka siapa Hutan Belantara sebenarnya!”
Aku dan Bela tertawa. Aku lalu mencelupkan kaki-ku ke air sungai. Kesejukan langsung menusuk tulang-tulangku dan aku bahagia bisa merasakan semua ini bersama sahabatku, Si Nona Hutan Belantara.

Hello, Hate to See You Again!


Ini cerita lama. Aku iseng saja membuka tulisan lamaku. Ide yang aku tuangkan sekitar setahun yang lalu. Tepat bulan Oktober juga dan persis sama perasaan yang aku alami. Ketakutan tidak jelas yang membuat hidupku kacau. Ketakutan yang bisa saja membuat masa depanku menghilang.

Entah kenapa aku merasakan hal seperti ini. Ketakutan tidak nyata, ketakutan yang hanya ada dalam pikiranku saja. Aku menjadi galau. Hilang semangat. Bahkan hilang keinginan untuk meneruskan hidupku ini. Kelihatannya lebih indah bila menjadi roh yang mengambang. Tidak ada perasaan terikat pada keduniawian. Aku mencari ketenangan.

Aku sadar, ada yang salah dalam diriku. Hal salah yang entah apa penyebabnya. Ketakutan ini mungkin saja kumpulan dari seluruh pengalaman buruk dalam hidupku sejak bertahun-tahun yang lalu. Perlu pengamatan dan pengobatan yang tepat untuk itu. Tapi apakah itu?

Berbagai hal sudah aku coba. Misalnya, aku mengingat kembali apa saja yang aku lakukan di masa lalu saat ketakutan tidak nyata ini muncul. Aku pergi berkeliling ke tempat yang hijau di daerah utara Badung sana. Aku mencoba memerhatikan semua pemandangan alami itu untuk mengubah pikiran burukku. Kadang-kadang berhasil.

Sayangnya, hanya hal itu yang baru aku coba… Ke depannya, aku akan berusaha lagi memikirkan apa saja yang aku lakukan dulu. Apa saja yang membuat aku berpikiran positif. Terus terang, di masa lalu aku adalah orang yang positif. Tidak ada yang namanya aku yang ketakutan oleh hal-hal tidak jelas! Aku mau merdeka dari perasaan ini dan aku akan mulai memikirkan apa saja yang dulu aku lakukan di saat aku masih orang yang positif dan optimis!

Abs, 30/10/11

Jumat, 02 September 2011

Memangnya Kenapa Kalau Ibuku Mantan Pelacur?!

Sebuah cerpen….
Oleh: Nimade Aryanti M.

Aku kembali melakukan kebiasaan yang sudah aku lakukan sejak delapan hari yang lalu: duduk di samping meja resepsionis di sekolahku. Kalau saja ini sekolahku yang lama, maka aku tidak perlu duduk disini.
Aku pasti sudah meluncur dengan skateboardku dan sampai di rumah sebelum serial Avatar dimulai. Sayangnya aku anak baru di SD ini dan aku tidak punya teman dan aku tidak tahu jalan pulang.
“Have you had lunch, Jordan?” tanya Mbak Resepsionis padaku. Dia wanita muda yang sangat baik dan dialah yang memberikan kursi khusus yang aku duduki sejak hari pertama aku tiba di sekolah ini.
“Yeah, thank you!” jawabku. Aku selalu bergairah mengobrol dengan kakak ini. Pengetahuannya tentang tempat-tempat asik sangat luas. “What about you?”
“I already have!” jawab Mbak Resepsionis. “Cinta is your classmate, right? Her birthday is today!”
“I know.” Sebenarnya aku ingin mengajukan pertanyaan lagi tentang tempat apalagi yang dia ketahui.
Tapi tiba-tiba saja telepon di sampingnya berdering dan kemudian dia disibukkan oleh orang yang menelpon itu serta beberapa orang tua yang sepertinya tidak sabaran menanti kepulangan anaknya. Padahal sebenarnya anak-anaknya itu sedang berlarian di halaman belakang sekolah!
Perhatianku kemudian beralih kepada tiga orang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu dihadapanku. Aku sering melihat mereka dan menurutku penampilan mereka sangat berlebihan. Mereka berdandan seolah-olah mereka masih SMA saja. Ibuku di rumah tidak seperti itu.
“Aduh, kemaren aku pergi ke salon buat merapikan rambut. Eehhh… hairdressernya malah memotong rambutku terlalu pendek!” ucap ibu dengan yellow dress yang super tipis dan super mini.
“Di salon mana? Blokir aja deh tempat itu!” kata ibu di sebelahnya yang tidak kalah gila. Dia mengenakan mini black dress dengan high heels super tinggi.
Wanita yang satunya lagi hanya tersenyum, lalu berkata, “Sudah, tapi terlihat tetap cantik kok!”
Wanita ini memang tidak berdandan terlalu menor. Hanya saja, aku tidak terlalu suka tatapan matanya yang terlihat sangat jahat. Meski aku masih kelas enam SD, tapi aku tahu tatapan mata yang seperti itu. Aku pernah bertemu dengan wanita seperti itu dulu sekali.
Tiba-tiba saja si Yellow Dress mengalihkan pembicaraan. “Eh, anak yang duduk di depan kita ini kan anaknya si itu!”
Aku menoleh ke Mbak Resepsionis, mengira kalau yang dia bicarakan adalah kakak yang sedang sibuk menelpon itu. Tapi rasa-rasanya mustahil bila di yellow dress menggambarkan Mbak Resepsionis sebagai ‘anak’. Seharusnya istilah yang dipakai ‘mbak’ atau ‘wanita itu’.
“Iya, itu anaknya si Santi!” ucap si Mata Jahat. Barulah di saat nama ini disebut aku sadar kalau yang mereka bicarakan adalah aku. Santi itu nama ibuku.
“James kok mau nikah sana Santi. Padahal udah tahu latar belakangnya kayak apa!” imbuh si mata jahat. James itu nama ayahku.
Anehnya, mereka membicarakan aku tanpa menolehku ke tempatku duduk sama sekali. Sempat sih, mereka sesekali melirik ke arahku. Tapi ketika tatapan mata kami bertemu, mereka selalu berpaling.
“Wajahnya mirip banget sama Santi.” ucap Yellow Dress.
“Mudah-mudahan aja nggak mewarisi sifat Santi!” ujar si Mata Jahat. Kemudian dia melanjutkan dengan kata-kata yang sangat membuat sakit. “James goblok banget mau nikah sama Santi!”
“Memangnya kenapa?” Mini Black Dress kaget.
Si Mata Jahat mengehal nafas panjang, tanda putus asa. “Masa kamu, nggak tahu?! Santi kan dulunya pelacur!”
Kata ‘pelacur’ itu meluncur tanpa hambatan. Seolah-olah dia sudah sering sekali mengucapkannya.
Dan aku benci itu. Aku marah karena wanita gila itu mengatakan ibuku pelacur. Ingin sekali rasanya aku bangkit dan memberikan bogem mentah pada ketiga nenek sihir itu. Apa mereka pikir aku tidak mengerti isi percakapan mereka?
Tapi kalimat berikutnya yang dilontarkan Yellow Dress membuatku terhenti.
“Lihat aja anak pertamanya. Nggak mirip James kan? Itu anak siapa nggak ada yang tahu! Duh, masa kamu nggak nyadar sih kalau dulu Santi dapet duit dengan cara jual diri!”
Aku akui kakakku, Jason memang tidak mirip Papa. Kulitnya gelap sekali. Tapi itu pun karena Jason suka sekali surfing dan berkeliaran di pantai. Jadi wajar saja kalau dia menjadi seperti itu.
Percakapan para nenek sihir tidak dapat aku dengar lagi. Soalnya, paman yang menjemputku sudah datang.
@@@@@@
Malam itu aku memperhatikan segala gerak-gerik ibuku. Aku harus memastikan kalau perkataan para nenek sihir itu tidak benar. Rasanya mustahil sekali kalau ibuku punya masa lalu kelam seperti itu.
Mana mungkin, ibu yang masakannya paling enak dituduh sebagai pelacur? Ibu yang merawatku saat sakit, ibu yang menghiburku waktu nilai matematika-ku jebol, ibu yang begitu baik. Mana mungkin seorang pelacur?
Ibu rupanya sadar apa yang aku lakukan. “What’s wrong, honey?” tanyanya.
“Nothing, Mom!”
Aku segera naik ke kamarku dan memutuskan untuk melupakan perkataan para nenek sihir dan mengerjakan PR-ku saja.
@@@@@@
Keesokan harinya, setelah merapikan tempat tidurku dengan setengah hati, aku menyeret tubuhku ke kamar mandi. Aku sudah membereskan buku pelajaran untuk hari ini tadi malam, jadi saat selesai mengenakan pakaian seragamku, aku beranjak turun.
Belum sampai di meja makan, aku mendengar ibuku mengeraskan suaranya.
“Bagaimana kalau Jordan sampai tahu?” kata ibu dengan suara lumayan keras.
“Tidak akan mungkin! Jordan kan tidak kenal Nadia?!” ucap ayahku, menenangkan.
“Aku tidak mau Jordan tahu dari Nadia siapa aku dulunya. Aku takut Jordan akan malu kalau dia sampai tahu ibunya dulu seorang pelacur!”
Kata terakhir itu seperti petir buatku. Aku lemas berdiri di atas anak tangga. Jadi ibuku dulu memang pelacur? Jadi para nenek sihir itu benar? Jadi mungkin saja Jason bukan kakak kandungku?
Aku baru turun ke meja makan saat percakapan kedua orang tuaku berakhir. Sarapan yang dibuatkan ibuku tidak aku sentuh sama sekali. Ada rasa marah dan kesal yang benar-benar aneh. Aku marah pada para nenek sihir itu, pada ibuku, dan aku paling marah pada diriku sendiri.
Tapi aku tidak tahu kenapa aku bisa semarah itu pada diriku sendiri.
Karena diliputi rasa itu, aku sampai lupa membawa bekal makan siangku. Jadi waktu jam istirahat tiba, aku hanya bisa bengong di bangku taman sekolah.
“Why are you here?” tanya Mbak Resepsionis, yang entah bagaimana bisa ada dihadapanku.
Aku tersenyum.
“Are you okay? Maybe you should go to the clinic?” ucap Mbak Resepsionis. “Oh, ya. Sebenarnya kamu mengerti bahasa Indonesia, kan?”
Aku kaget. “Darimana kakak tahu?”
“Nah, itu tadi kamu baru ngasi tahu!” ucap Mbak Resepsionis.
“Kakak sudah lama kerja disini?” tanyaku. Aku mencoba mengalihkan perhatianku. Berharap cerita dari kakak itu dapat memberikan ketenangan buatku.
“Sudah. Tepatnya sejak suami kakak masuk penjara!”
“Masuk penjara?”
“Iya. Suami kakak membunuh atasannya.”
“Kenapa kakak tidak menikah lagi?”
“Kakak tidak akan menikah lagi. Bagaimana mungkin kakak menikah lagi, sementara orang yang kakak sayang ada di dalam penjara?!” kata Mbak Resepsionis.
“Tapi kan…”
“Suamiku pembunuh? Ya, dia memang pembunuh. Tapi dia punya alasan kenapa berbuat seperti itu!”
Tiba-tiba saja aku tahu apa yang harus aku lakukan. Jadi siang itu, setelah sekolah bubar aku langsung mencari bayangan ketiga penyihir itu.
Ternyata mereka sedang duduk di bangku taman di dekat kolam renang. Tanpa ragu, aku langsung menghampiri mereka dan mengatakan apa yang harus aku katakan.
“Memangnya kenapa kalau ibuku dulu pelacur?” ujarku.
Mereka memandangiku seolah-olah aku ini alien. Jadi aku meneruskan misiku.
“Ibuku lebih baik daripada kalian. Dia tidak menghina orang lain seperti yang kalian lakukan! Kalian tidak malu, ya, tidak bisa merubah sikap kalian itu?! Setidaknya sekarang ibuku sudah berubah!!!” lanjutku mantap.
Aku sendiri sadar, arah pembicaraanku sangat kacau. Tapi paling tidak para nenek sihir itu tahu kalau aku tahu penghinaan mereka terhadap ibuku. Aku yang akan membela ibuku di garis depan kalau ada yang menyakitinya. Aku tidak peduli siapa ibuku di masa lalu!
Setelah menyelesaikan kewajibanku, aku segera berlari menuju paman yang sudah siaga mengantarku pulang.
Sebelum mobil beranjak, aku meminta paman singgah di toko bunga terdekat. Aku ingin memberikan sekuntum bunga untuk ibuku tersayang.
@@@@@@



Kamis, 18 Agustus 2011

Kenapa Mereka Tidak Mau Mengerti?


Aku memulai lembaran baru lagi. Dan sebagai anak baru, ada banyak hal yang masih perlu aku pelajari. Ini sama seperti ketika aku datang ke stasiun TV itu dan menjadi reporternya. Aku belajar dari nol dengan jumlah kesalahan yang hampir menyamai tingginya gunung. Ada beberapa orang yang tidak bisa menerima aku apa adanya. Maksudku, mereka berharap aku tampil sempurna tanpa cacat satu titik pun!

Hal yang sama aku dapatkan juga di lembaran baruku. Ada banyak orang yang mendukungku. Tapi tidak sedikit yang meremehkan dan malah tidak bisa menerima segala cela yang aku tunjukkan dan pamerkan kepada mereka. Kenapa aku bisa tahu? Aku hanya menerka dari nada suara mereka. Jutek, bo!

Aku tidak pernah mengerti, kenapa ada orang yang begitu egois dan tidak mau melihat dari sudut pandang seseorang. Apa susahnya sih hanya membalikkan keadaan sebentar saja dan berpikir bagaimana kalau mereka ada di posisiku? Mungkin bagi orang yang merasa dirinya sudah hebat dan di atas, hal tersebut seperti meloncat dari lantai 26! Alias ketika sampai di bawah kau hancur dan seluruh kebanggaanmu juga musnah.

Yang aku tahu, mereka yang tidak mau mengerti posisiku itu, juga orang beragama dan bahkan aku sering melihat tanda yang menunjukkan rasa bakti mereka pada Tuhan. Tapi apa mereka tidak malu memperlakukan orang lain buruk setelah menunjukkan rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa?

Situasi yang sama tidak hanya berlaku untukku saja. Tapi untuk banyak orang yang merasa diinjak dan tidak mau didengar. Lihat deh orang yang hidupnya masih aja miskin. Makan tidak bisa, apalagi sekolah. Mereka itu adalah contoh orang yang tidak mau dimengerti oleh sang pemegang kekuasaan.

Aku hanya berharap, manusia di bumi ini mau mengerti sesamanya sedikit saja. Oke, aku mengerti kalau mereka itu orang hebat. Tapi tidak bisakah sedikit saja orang hebat itu berbaik hati dan mau mengerti orang yang tidak hebat seperti diriku

Template by:

Free Blog Templates