Sebuah cerpen….
Oleh: Nimade Aryanti M.
Aku kembali melakukan kebiasaan yang sudah aku lakukan sejak delapan hari yang lalu: duduk di samping meja resepsionis di sekolahku. Kalau saja ini sekolahku yang lama, maka aku tidak perlu duduk disini.
Aku pasti sudah meluncur dengan skateboardku dan sampai di rumah sebelum serial Avatar dimulai. Sayangnya aku anak baru di SD ini dan aku tidak punya teman dan aku tidak tahu jalan pulang.
“Have you had lunch, Jordan?” tanya Mbak Resepsionis padaku. Dia wanita muda yang sangat baik dan dialah yang memberikan kursi khusus yang aku duduki sejak hari pertama aku tiba di sekolah ini.
“Yeah, thank you!” jawabku. Aku selalu bergairah mengobrol dengan kakak ini. Pengetahuannya tentang tempat-tempat asik sangat luas. “What about you?”
“I already have!” jawab Mbak Resepsionis. “Cinta is your classmate, right? Her birthday is today!”
“I know.” Sebenarnya aku ingin mengajukan pertanyaan lagi tentang tempat apalagi yang dia ketahui.
Tapi tiba-tiba saja telepon di sampingnya berdering dan kemudian dia disibukkan oleh orang yang menelpon itu serta beberapa orang tua yang sepertinya tidak sabaran menanti kepulangan anaknya. Padahal sebenarnya anak-anaknya itu sedang berlarian di halaman belakang sekolah!
Perhatianku kemudian beralih kepada tiga orang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu dihadapanku. Aku sering melihat mereka dan menurutku penampilan mereka sangat berlebihan. Mereka berdandan seolah-olah mereka masih SMA saja. Ibuku di rumah tidak seperti itu.
“Aduh, kemaren aku pergi ke salon buat merapikan rambut. Eehhh… hairdressernya malah memotong rambutku terlalu pendek!” ucap ibu dengan yellow dress yang super tipis dan super mini.
“Di salon mana? Blokir aja deh tempat itu!” kata ibu di sebelahnya yang tidak kalah gila. Dia mengenakan mini black dress dengan high heels super tinggi.
Wanita yang satunya lagi hanya tersenyum, lalu berkata, “Sudah, tapi terlihat tetap cantik kok!”
Wanita ini memang tidak berdandan terlalu menor. Hanya saja, aku tidak terlalu suka tatapan matanya yang terlihat sangat jahat. Meski aku masih kelas enam SD, tapi aku tahu tatapan mata yang seperti itu. Aku pernah bertemu dengan wanita seperti itu dulu sekali.
Tiba-tiba saja si Yellow Dress mengalihkan pembicaraan. “Eh, anak yang duduk di depan kita ini kan anaknya si itu!”
Aku menoleh ke Mbak Resepsionis, mengira kalau yang dia bicarakan adalah kakak yang sedang sibuk menelpon itu. Tapi rasa-rasanya mustahil bila di yellow dress menggambarkan Mbak Resepsionis sebagai ‘anak’. Seharusnya istilah yang dipakai ‘mbak’ atau ‘wanita itu’.
“Iya, itu anaknya si Santi!” ucap si Mata Jahat. Barulah di saat nama ini disebut aku sadar kalau yang mereka bicarakan adalah aku. Santi itu nama ibuku.
“James kok mau nikah sana Santi. Padahal udah tahu latar belakangnya kayak apa!” imbuh si mata jahat. James itu nama ayahku.
Anehnya, mereka membicarakan aku tanpa menolehku ke tempatku duduk sama sekali. Sempat sih, mereka sesekali melirik ke arahku. Tapi ketika tatapan mata kami bertemu, mereka selalu berpaling.
“Wajahnya mirip banget sama Santi.” ucap Yellow Dress.
“Mudah-mudahan aja nggak mewarisi sifat Santi!” ujar si Mata Jahat. Kemudian dia melanjutkan dengan kata-kata yang sangat membuat sakit. “James goblok banget mau nikah sama Santi!”
“Memangnya kenapa?” Mini Black Dress kaget.
Si Mata Jahat mengehal nafas panjang, tanda putus asa. “Masa kamu, nggak tahu?! Santi kan dulunya pelacur!”
Kata ‘pelacur’ itu meluncur tanpa hambatan. Seolah-olah dia sudah sering sekali mengucapkannya.
Dan aku benci itu. Aku marah karena wanita gila itu mengatakan ibuku pelacur. Ingin sekali rasanya aku bangkit dan memberikan bogem mentah pada ketiga nenek sihir itu. Apa mereka pikir aku tidak mengerti isi percakapan mereka?
Tapi kalimat berikutnya yang dilontarkan Yellow Dress membuatku terhenti.
“Lihat aja anak pertamanya. Nggak mirip James kan? Itu anak siapa nggak ada yang tahu! Duh, masa kamu nggak nyadar sih kalau dulu Santi dapet duit dengan cara jual diri!”
Aku akui kakakku, Jason memang tidak mirip Papa. Kulitnya gelap sekali. Tapi itu pun karena Jason suka sekali surfing dan berkeliaran di pantai. Jadi wajar saja kalau dia menjadi seperti itu.
Percakapan para nenek sihir tidak dapat aku dengar lagi. Soalnya, paman yang menjemputku sudah datang.
@@@@@@
Malam itu aku memperhatikan segala gerak-gerik ibuku. Aku harus memastikan kalau perkataan para nenek sihir itu tidak benar. Rasanya mustahil sekali kalau ibuku punya masa lalu kelam seperti itu.
Mana mungkin, ibu yang masakannya paling enak dituduh sebagai pelacur? Ibu yang merawatku saat sakit, ibu yang menghiburku waktu nilai matematika-ku jebol, ibu yang begitu baik. Mana mungkin seorang pelacur?
Ibu rupanya sadar apa yang aku lakukan. “What’s wrong, honey?” tanyanya.
“Nothing, Mom!”
Aku segera naik ke kamarku dan memutuskan untuk melupakan perkataan para nenek sihir dan mengerjakan PR-ku saja.
@@@@@@
Keesokan harinya, setelah merapikan tempat tidurku dengan setengah hati, aku menyeret tubuhku ke kamar mandi. Aku sudah membereskan buku pelajaran untuk hari ini tadi malam, jadi saat selesai mengenakan pakaian seragamku, aku beranjak turun.
Belum sampai di meja makan, aku mendengar ibuku mengeraskan suaranya.
“Bagaimana kalau Jordan sampai tahu?” kata ibu dengan suara lumayan keras.
“Tidak akan mungkin! Jordan kan tidak kenal Nadia?!” ucap ayahku, menenangkan.
“Aku tidak mau Jordan tahu dari Nadia siapa aku dulunya. Aku takut Jordan akan malu kalau dia sampai tahu ibunya dulu seorang pelacur!”
Kata terakhir itu seperti petir buatku. Aku lemas berdiri di atas anak tangga. Jadi ibuku dulu memang pelacur? Jadi para nenek sihir itu benar? Jadi mungkin saja Jason bukan kakak kandungku?
Aku baru turun ke meja makan saat percakapan kedua orang tuaku berakhir. Sarapan yang dibuatkan ibuku tidak aku sentuh sama sekali. Ada rasa marah dan kesal yang benar-benar aneh. Aku marah pada para nenek sihir itu, pada ibuku, dan aku paling marah pada diriku sendiri.
Tapi aku tidak tahu kenapa aku bisa semarah itu pada diriku sendiri.
Karena diliputi rasa itu, aku sampai lupa membawa bekal makan siangku. Jadi waktu jam istirahat tiba, aku hanya bisa bengong di bangku taman sekolah.
“Why are you here?” tanya Mbak Resepsionis, yang entah bagaimana bisa ada dihadapanku.
Aku tersenyum.
“Are you okay? Maybe you should go to the clinic?” ucap Mbak Resepsionis. “Oh, ya. Sebenarnya kamu mengerti bahasa Indonesia, kan?”
Aku kaget. “Darimana kakak tahu?”
“Nah, itu tadi kamu baru ngasi tahu!” ucap Mbak Resepsionis.
“Kakak sudah lama kerja disini?” tanyaku. Aku mencoba mengalihkan perhatianku. Berharap cerita dari kakak itu dapat memberikan ketenangan buatku.
“Sudah. Tepatnya sejak suami kakak masuk penjara!”
“Masuk penjara?”
“Iya. Suami kakak membunuh atasannya.”
“Kenapa kakak tidak menikah lagi?”
“Kakak tidak akan menikah lagi. Bagaimana mungkin kakak menikah lagi, sementara orang yang kakak sayang ada di dalam penjara?!” kata Mbak Resepsionis.
“Tapi kan…”
“Suamiku pembunuh? Ya, dia memang pembunuh. Tapi dia punya alasan kenapa berbuat seperti itu!”
Tiba-tiba saja aku tahu apa yang harus aku lakukan. Jadi siang itu, setelah sekolah bubar aku langsung mencari bayangan ketiga penyihir itu.
Ternyata mereka sedang duduk di bangku taman di dekat kolam renang. Tanpa ragu, aku langsung menghampiri mereka dan mengatakan apa yang harus aku katakan.
“Memangnya kenapa kalau ibuku dulu pelacur?” ujarku.
Mereka memandangiku seolah-olah aku ini alien. Jadi aku meneruskan misiku.
“Ibuku lebih baik daripada kalian. Dia tidak menghina orang lain seperti yang kalian lakukan! Kalian tidak malu, ya, tidak bisa merubah sikap kalian itu?! Setidaknya sekarang ibuku sudah berubah!!!” lanjutku mantap.
Aku sendiri sadar, arah pembicaraanku sangat kacau. Tapi paling tidak para nenek sihir itu tahu kalau aku tahu penghinaan mereka terhadap ibuku. Aku yang akan membela ibuku di garis depan kalau ada yang menyakitinya. Aku tidak peduli siapa ibuku di masa lalu!
Setelah menyelesaikan kewajibanku, aku segera berlari menuju paman yang sudah siaga mengantarku pulang.
Sebelum mobil beranjak, aku meminta paman singgah di toko bunga terdekat. Aku ingin memberikan sekuntum bunga untuk ibuku tersayang.
@@@@@@