“Kalo kamu anak teknik, kamu cuma perlu bayar dua ribu aja. Tapi, kalo dari fakultas lain kamu musti bayar tiga ribu!” Peraturan ini dilontarkan sama cowok jangkung yang hari itu mungkin aja lagi apes kebagian tugas jaga di laboratorium Fakultas Teknik. Tampangnya kusut banget.
“Untuk per jamnya ya?” tanyaku.
“Iya…”
Aku tahu aku bisa lebih berhemat kalo aku mengetik essay-ku di Lab. Teknik. Aku tidak perlu keluar kampus dan tempatnya pun cukup nyaman. Sebagai tambahan pula, hanya aku yang mengetik disini. Oh, tentu saja si penjaga juga disini.
Harus kuakui, meski si jangkung tampangnya tidak begitu meyakinkan, tapi dia punya selera musik yang oke.
Stair way to heaven diputarnya dua kali. Lagu ini cukup menenangkan hatiku setelah aku harus bersabar berjam-jam menunggu agar Tari pergi jauh-jauh dariku.
Aku benar-benar tidak mau ditemani cewek itu hari ini. Yah, masalahnya aku mengetik essay dan aku sama sekali tidak mau dia mencuri ideku. Lagi.
Waktu seorang cewek yang mengaku dari fakultas MIPA masuk, aku masih sadar dan belum begitu terhanyut dalam gerak-gerak jari jemariku.
Tapi, waktu si cowok jangkung memutar lagu Forever in One, pikiranku sudah benar-benar menghilang dari laboratorium. Terus terang saja, aku merasa ada keyakinan dalam diriku kalo tulisanku bakal menang. Aku tahu, kalo aku sudah melakukan yang terbaik.
“Kalo mau ngeprint, ada biaya tambahan ya??” tanyaku berbalik pada si cowok jangkung. Tapi bukan dia yang ditangkap sama mataku. Cowok lain.
@@@@
Aku tidak percaya, akhirnya pita suara cewek ini bergetar juga. Mungkin dia baru bangun dari mimpi indahnya. Dan kayaknya dia agak kaget melihatku.
“Cowok yang tadi mana?” tanyanya tenang.
Aku jadi bertanya-tanya, apa dalam hatinya dia setenang itu??
“Dia musti ketemu ama dosen pembimbingnya. Aku yang gantiin dia.” sahutku.
Cewek ini punya mata yang indah. Mata itu seolah-olah berteriak terus memanggilku.
“Oh gitu ya… Trus, ada gak biaya tambahan kalo aku mau ngeprint?”
“Ada. Kalo kamu bawa kertasnya sendiri, kamu cuman perlu bayar tiga ratus aja per lembar. Tapi kalo nggak, kamu musti bayar seribu lima ratus per lembar!” jelasku.
Dia memandangku cukup lama. Dan entahlah, mata itu banar-benar memberitahuku segalanya tentang pemiliknya.
Cewek itu tersenyum. “Pengennya sih pake kertas sendiri, biar dapet yang lebih murah. Tapi aku lagi nggak bawa kertas…” ucapnya.
Sebenarnya bisa saja aku memberikan diskon khusus buat cewek kayak dia. Tapi, kalo itu aku lakukan aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Nasibku benar-benar kurang beruntung. Kanapa baru sekarang coba aku ketemu sama cewek seperti dia. Dua bulan lagi aku bakal diwisuda!!!
“Oh ya, gini aja. Besok kamu balik aja lagi kesini, bawa kertasnya. Sekarang ketikkanmu di save aja dulu…” usulku.
“Oke. Tapi apa ketikkanku bakal aman?”
Ya ampun! Kenapa sih cewek ini berpikir begitu rumit?
“Tenang aja. Pasti aman kok!”
Kemudian aku bangun dan membantunya menyimpan tulisannya itu. Tentu saja, aku menyimpannya dengan namaku.
“Udah aku simpan. Pasti deh, nggak bakal ada yang berani mengutak-atiknya!” kataku dengan bangga.
“Jadi namamu Paundra?”
Aku bahkan tidakperlu memasang umpan. Dia sendiri yang membukakan jalan bagiku. Jalan untuk berkenalan. Horeeeee!!!!
“Iya. Aku Paundra. Kalo boleh tahu, nama kamu siapa ya?” tanyaku.
“Uttara. Huruf “T”-nya dobel.”
Kalo dia mau terbuka begini, aku jadi lebih bisa membaca jiwanya. Aku semakin heran, kenapa di jaman ini masih ada cewek kayak dia.
“Kamu dari fakultas apa, Uttara?” tanyaku lagi?
“Fakultas Sastra. Semester empat.” Jawabnya sambil tersenyum. “Oh ya, aku mau pulang dulu ya!”
“Oh silahkan…”
“Besok aku kesini lagi…”
@@@@
Di sebelah utara kampusku, ada sejengkal tanah yang dijadikan hutan kecil oleh pihak kampus. Oke, mungkin hanya aku yang menyebutnya demikian. Tapi yang jelas, tempat itu banyak sekali ditumbuhi oleh pohon-pohon besar.
Aku paling suka mendengar suara berderak saat kakiku menginjak daun-daun atau ranting kecil yang sudah kering. Rasanya seperti berada di dunia hobbit ala The Lord of the Ring.
Sepulang sekolah aku selalu menyempatkan diri duduk di bawah salah satu pohon besar di hutan miniku.
Dan siang itu, aku sengaja duduk di deretan terluar dari pohon-pohon di tempat itu. Masalahnya, laboraotrium Teknik terlihat sangat jelas dari sana. Jadi aku bisa tahu keberadaan Paundra.
Tapi hari itu aku agak takut untuk berpikir. Sesungguhnya, hal ini sudah sangat menggangguku. Aku takut berpikir tentang Paundra yang mungkin saja menyukaiku…
Aku tidak mau terlalu terhanyut. Aku takut semuanya tidak akan seperti perkiraanku. Jadi mungkin aku harus menghentikan segalanya.
@@@@
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Uttara saat dia melihatku adalah “Aku udah bawa kertasnya! Jadi udah bisa diprint-kan?”
Otakku langsung berputar. Apakah aku bakal membiarkan saja Uttara pergi setelah mendapatkan apa yang dicarinya? Jadi, apa dong gunanya usahaku kemarin?
“Udah bisa sih!” sahutku. “Tapi, bisa nggak nunggu sebentar aja? Soalnya aku harus ngeprint makalah temenku dulu…”
“Oh, nggak apa kok…”
“Duduk aja dulu…”
Akhirnya Uttara duduk juga. Dia duduk tepat didepanku. Dan aku pun mulai menjalankan kebohongan yang aku buat sendiri.
“Kamu pasti bangga sekali ya, dilahirkan sebagai cewek?” tanyaku sambil memandang tepat ke matanya yang indah.
Uttara berkedip. Dia terlihat kaget. ‘Kamu baca tulisanku ya?” ucapnya.
“Sori banget ya… Soalnya tadi aku nggak ada kerjaan!”
“Nggak apa kok! Tulisanku pasti jelek banget ya?”
“Nggak juga. Malah bagus banget! Jadi?”
“Jadi… Aku memang bangga dilahirkan sebagai seorang cewek. Aku merasa spesial dengan kodratku ini.”
Benar-benar cewek superior.
“Kamu pasti bangga karena cewek itu melahirkan manusia, ya kan?” tanyaku.
“Iya. Dan ceweklah yang melahirkan cowok…”
“Tapi semua itu nggak akan berjalan kalo nggak ada kaum-ku…”
“Ya, aku tahu itu. Disitulah pentingnya kerja sama antar kedua jenis manusia. Kita seharusnya nggak boleh saling menghancurkan. Tapi sebaliknya, kita harus menjalankan kodrat kita yaitu hidup berdampingan dalam damai!”
Jadi aku rasa wajar kalo judul tulisannya “Aku Adalah Cewek.”
@@@@
Entahlah. Yang jelas aku merasa bahwa Paundra benar-benar melihat ke dalam jiwaku. Aku benci dengan cara dia memandangiku.
“Kamu udah baca semuanya ya?” tanyaku.
“Iya. Udah dua kali malah…”
“Kamu tahu nggak Sailor Moon?”
Paundra tersenyum. “Iya…” katanya.
“Terus terang aja, aku nggak pernah malu mengakui kalo aku mengagumi Sailormoon…”
“Meski udah gede?”
“Iya… Rasa sukaku nggak ada batasnya!”
“Aku juga punya adik yang mungkin aja seusia ama kamu. Dan waktu kecil dia juga suka nonton Sailormoon… Setahuku, Sailormoon itu kan cerewet?!”
Harus kuakui, memang begitulah sifat Usaghi.
“Dan pemalas juga sebenarnya…”
“Ehhe… Trus, kenapa kamu tetap mengaguminya?”
“Karena dia adalah pembela kebenaran dan keadilan!” ucapku dan aku tidak bisa berlama-lama menahan senyumku.
Pundra juga tersenyum. “Iya, aku ingat! Dia memang pembela kebenaran dan keadilan. Tapi aku juga ingat kalo ada tokoh pahlawan pria di kartun itu…”
“Taxido bertopeng?”
“Iya…”
Aku tersenyum.
“Jadi kamu adalah kaum feminis?” tanya Paundra.
“Nggak. Aku bukan kaum feminis! Soalnya, aku nggak mendukung aborsi…”
“Aku juga nggak mendukung aborsi. Itu kan memusnahkan manusia namanya…” ucap Paundra.
“Aku hanya ingin manusia menjalankan kewajibannya dan mendapatkan haknya masing-masing tanpa mengganggu manusia lainnya!”
“Aku setuju. Oh ya, Uttara, aku nggak percaya di dunia ini masih ada cewek kayak kamu…”
Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi, tatapan mata Paundra kembali menggangguku. Dia seolah-olah melihat ke dalam jiwaku. Aku seperti ditelanjanginya begitu saja.
“Oh ya, boleh nggak aku tahu nomer hapemu?” tanya cowok itu sejurus kemudian.
Sudah aku duga.
@@@@
Aku tidak percaya, Uttara mengirimiku sms pagi-pagi buta cuma untuk menyuruhku datang ke daerah yang bahkan tidak dipedulikan lagi oleh pihak kampus. Tapi sebenarnya, daerah terbuang ini punya fungsi yang sangat vital: sebagai paru-paru kampusku!
Tapi apa coba maunya Uttara menyuruhku datang ke paru-paru kampus?
“Udah lama nunggu ya?” tanya Uttara yang datang dengan wajah cerah ceria.
Dia terlihat sangat segar. Apa itu karena tadi malam aku mengobrol sampai larut dengannya di telepon? Tidak! Seharusnya dia kusut karena kelelahan.
“Belum lama kok!” jawabku sambil tersenyum.
“Sori ya, tadi dosennya agak rakus dikit…”
“Ada apa sih mengundangku kesini?”
Uttara memberi isyarat agar aku turut berjalan disampignya. Aku, tentu saja menurut.
“Sepulang kuliah aku selalu singgah di tempat ini. Aku udah menganggapnya seperti rumah sendiri.” Jelas Uttara dan sangat tidak nyambung dengan pertanyaanku.
Kami tetap berjalan.
“Jadi hari ini kamu mau ditemani aku?” tanyaku.
“Iya… Aku mau tanya, kalo misalnya kamu dikasi tempat ini sama pihak kampus, apa yang bakal kamu lakukan? Ngabangun rumah?” Uttara memberikan pertanyaan aneh.
“Aku memang arsitek.” Ucapku sedikit GR. “Tapi aku nggak bakal membangun disini. Aku mungkin bakal membiarkannya begini. Tempat ini cocok sebagai paru-paru kampus!”
Uttara tersenyum. “Kalo pun kamu pengen membangun disini, aku yang bakal menghalangimu…”
“Memangnya kamu bisa?” tanyaku.
Uttara tiba-tiba berhenti. Aku kira dia marah. Tapi ternyata tidak. Dia malah mengangkat jemariku dan menempelkannya di batang sebuah pohon besar. Hingga aku benar-benar bisa melihat namaku terukir disitu.
Aku sudah pasti tahu tentang ukiran itu. Aku sendiri yang membuatnya dulu. Dulu sekali. Waktu itu hari terakhir ospek dan aku dihukum untuk memberi hormat pada pohon itu sampai matahari terbenam.
Kejadian itu tidak mungkin aku lupakan.
Berikutnya Uttara kembali menggenggam jemariku dan membawaku ke sebuah pohon yang tepat tumbuh di samping pohon besar tempat namaku terukir.
Di pohon itu terukir nama cewek yang sedang menggenggam tanganku.
“Aku membuatnya saat hari terakhir ospek.” ucap Uttara. “Aku marah sekali waktu itu…”